Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tidak Ada Lagi Kurma di Rumah Pak Ustad

March 15, 2025 05:05
IMG-20250315-WA0023

Cerpen : Rusmin Sopian

HATIPENA.COM – Setiap bulan Ramadan tiba, kami, anak-anak kampung yang belajar mengaji di rumah Pak Ustad sangat bahagia.

Bukan hanya karena kami bisa salat taraweh bersama. Dan bukan karena kami bisa khatam Al-quran saja pada bulan suci itu, bukan sama sekali.

Tapi setiap bulan penuh cahaya itu datang, kami, murid-muridnya selalu berbuka puasa bersama di rumah Pak Ustad.

Dan yang amat kami nantikan adalah saat momen berbuka. Karena Pak Ustad selalu menyediakan buah kurma setiap harinya untuk kami anak-anak murid mengajinya.

“Buah kurma ini dikirim oleh senior-senior kalian yang kini telah sukses di perantauan,” kata Pak Ustad saat menjelaskan asal muasal buah kurma yang kami nikmati tiap berbuka puasa.

“Jadi tiap bulan puasa mereka berbagi rezeki kepada kita,” lanjut Pak Ustad. “Dan saya harap tradisi berbagi ini harus kalian terapkan nantinya kalau kalian semua sudah sukses. Tak ada salahnya berbagi ke sesama umat manusia,” lanjut Pak Ustad membanggakan pemberian dari mantan anak didiknya.

Kami , murid-murid Pak Ustad serius mendengarkan ceramah Pak Ustad sambil menikmati menu berbuka puasa.

Ya, buah kurma yang dijadikan menu berbuka puasa itu memang sangat manis dan besar. Sangat berbeda dari yang biasa kita dan kami makan di rumah, sangat beda sekali.

Kayaknya buah kurma itu datang dari negara asalnya.

Tapi ada yang berbeda saat berbuka puasa kali. Sangat berbeda. Tak ada lagi buah kurma yang menjadi ciri khas saat kami berbuka puasa di rumah Pak Ustad.

Tidak ada sama sekali. Setidaknya sudah hari ke dua puluh tujuh, belum sebutir pun kami melihat buah kurma itu sebagai sajian berbuka puasa di rumah Pak Ustad guru ngaji kami.

Tak ada dalam menu berbuka puasa bersama kami.

Beberapa kawan mulai celingukan. Otak cerdas mereka pun mulai menelisik.

Ada apa dengan buah kurma itu? Kok tak ada dalam daftar menu berbuka puasa di rumah Pak Ustad.

Tapi tak satu suara pun yang keluar dari mulut kami, tentang kenapa hingga hari ke sembilan ini menu berbuka tanpa kurma.

Semuanya hanya memendam rindu dengan buah kurma itu yang selalu ada setiap ramadan tiba sebagai menu khas berbuka puasa di rumah Pak Ustad sekaligus guru ngaji kami.

“Sudah tak perlu ditanyakan. Mungkin buahnya belum tiba dari Arab,” ujar seorang dari kami.

“Lagi pula kita sudah seharusnya berterima kasih kepada Pak Ustad yang telah menyediakan menu berbuka puasa buat kita warga kampung dan anak didiknya,” sambung murid ngaji Pak Ustad yang lain.

“Terus, apakah tanpa kurma itu buka puasa kita tak diterima Allah SWT,” tanya seorang yang memakai peci dengan nada suara setengah kesal.

Kami yang hadir cuma terdiam. Membisu. Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami.

Guru ngaji kami ini sepertinya sudah membaca tanda-tanda keheranan dari kami para muridnya.

Tokoh agama terpandang di kampung ini seolah sudah memahami apa yang ada di otak kami. Guru ngaji yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak Ustad itu tampaknya sudah merasakan apa yang ada dalam otak kami.

Tak pelak sebelum acara berbuka puasa sore itu dimulai, saat lembayung dengan warna kemerah-merahan itu ditutupi awan nan membiru, Pak Ustad mulai berbicara. Memberikan kultumnya.

”Saya sudah tahu apa yang kalian rasakan semuanya? tentang buah kurma kan?” ujar Pak Ustad setengah bertanya.

Kami terdiam. Hening, tak seorang pun yang bersuara. Desis suara pun seolah tertahan di kerongkongan. Apalagi menjawab pertanyaan tokoh ulama Kampung yang kharismatis itu.

Melihat wajahnya pun kami seolah tak berani, seakan-akan ikut merasakan derita yang dialami Pak Ustad.

“Bukannya saya tak mau menyediakan buah kurma sebagai sajian berbuka puasa kita. Bukan sama sekali. Buah kurma yang datang sangat banyak. Sangat cukup buah kurma itu untuk kita berbuka puasa selama sebulan. Namun saya tak mau memberikan buah kurma itu untuk menu kita berbuka puasa kalau tak halal,” ujar Pak Ustad.

Kami yang tadinya terdiam dan membisu bak patung, kini mulai bersuara. Mulut kami yang tadinya tertutup rapat, kini mulai berdesis.

Nada koor Oh bergemuruh kencang dari mulut kami. Mengingatkan akan sebuah drama paduan suara koor setuju wakil rakyat di lembaga terhormat saat sedang mengesahkan sebuah produk undang-undang.

Pak Ustad lantas mengisahkan bagaimana kalau selama ini buah kurma yang datang setiap tahun itu dan sebagai menu buka puasa itu berasal dari sumbangan seseorang tokoh yang terjerat kasus korupsi. Tokoh terkenal itu dulunya merupakan murid Pak Ustad .

“Saya tak mau lagi menghidangkannya sebagai menu buka puasa kita karena saya tahu sumber pendanaannya dari hasil korupsi. Saya tak mau menu berbuka puasa dari sumbangan yang tak halal. Saya tak mau, tidak ada berkahnya buat kita,” lanjut pak Ustad.

“Lebih baik kita menikmati sajian menu berbuka puasa dari hasil kebun kita sendiri diri tapi halal dan rasanya pun nikmat,” lanjut Pak ustad.

Dan tiba-tiba bedug magrib pun terdengar. Kami pun segera meneguk minuman yang tersaji untuk membatalkan.

Rasanya nikmat sekali. Apalagi menu hari ini sungguh berbeda. Ada rebus ubi dan rebus jagung yang diambil dari kebun Pak Ustad. Sungguh berbuka puasa kali ini begitu nikmat.

Sementara saat kami meninggalkan rumah pak Ustad, tampak beberapa karung tergeletak disudut rumah tokoh agama itu.

Mungkin itu karung yang berisikan buah kurma yang tak akan lagi menjadi ciri khas kami saat berbuka di rumah Pak Ustad.(*)

Toboali, 14 Ramadan 1446 H

Penulis Rusmin Sopian
Alamat Jln Suhaili Toha No 56 Toboali Bangka Selatan.

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan.

Beberapa buku kumpulan cerpennya telah diterbitkan dalam buku.
Di antaranya Mereka Bilang Ayah ku Koruptor (2017) dan Penjaga Makam (2021) terbitan Galuh Patria Jogjakarta.

Saat ini Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik serta kakek satu orang cucu yang bernama Nayyara Aghnia Yuna.

Berita Terkait