Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Cerpen Sadri Ondang Jaya
HATIPENA.COM – Malam menyelimuti desa dengan gelap yang tak biasa. Langit kosong, seakan bintang pun takut bersinar.
Udara terasa berat, dingin merayapi kulit seperti jari-jari tak kasat mata yang mengendap-endap.
Pukul 03.14 WIB. Angin menyusup dari ventilasi jendela, membawa aroma asing. Perpaduan getir kemenyan dan anyir darah yang samar menusuk indera.
Dari kejauhan, lolongan anjing terdengar pilu, panjang dan putus asa, seolah meratapi sesuatu yang akan terjadi.
Di dalam sebuah rumah kayu beratap rumbia di pinggir desa, seorang perempuan muda bernama Siti Aini terbaring lemah di atas dipan kayu yang berderit setiap kali ia menggeliat kesakitan.
Siti Aini perempuan malang itu, tengah berjuang di ambang batas antara hidup dan mati.
Perutnya yang membuncit bergerak gelisah, seolah ada sesuatu di dalamnya bukan janin, melainkan sesuatu yang berusaha mencari jalan keluar, tetapi bukan untuk kehidupan.
Di sampingnya, Rusdi, suaminya, duduk menggenggam jemari Siti Aini yang dingin. Wajahnya penuh kecemasan, hatinya terombang-ambing antara harapan dan ketakutan.
“Tadi aku sudah minta ubek tasapo pada Pak Hasan. Kata Pak Hasan, Siti Aini tasapo burung tujuh dan dikasih obat roha-roha remasan daun merungge,” kata Mak Naila.
“Selain itu, aku sudah panggil juga bidan desa,” kata Mak Naila lagi dengan suara nyaris putus asa.
“Namun Bidan tak ada. Dia pergi berlibur ke luar kota,” ujar Mak Naila.
Kemudian melanjutkan tuturannya, “Di desa tetangga memang ada perawat, tapi bila diajak ia tak mau datang ke rumah. Apalagi yang mengajaknya orang tak berpunya seperti kita. Sekarang kita hanya punya satu pilihan.”
Rusdi menoleh, menatap ibu mertuanya yang barusan bicara.
“Siapa itu Mak?”
Hening sejenak. Angin berhembus lebih kencang, membuat nyala lampu minyak berkedip tak menentu.
“Mak Asih.”
Mendengar nama itu, Rusdi bergidik. Dingin merayapi tulang-tulangnya.
“Mak Asih, dukun tua yang tinggal di peladangan itu. Mendengar namanya saja seolah sudah mengundang petaka,” gumam Rusdi.
Mak Asih, di desa itu, bukan sekadar dukun beranak, melainkan penjaga ilmu hitam yang telah lama bersekutu dengan kegelapan.
Banyak kisah beredar, ibu-ibu hamil yang meninggal tanpa sebab, bayi yang lenyap dari perut entah ke mana. Disebut-sebut yang melakukan Mak Asih.
Ditambah lagi, apabila berjalan dekat rumahnya di tengah malam, orang kerap mendengar suara-suara ganjil.
“Ya ruh leluhur. Ya kekuatan kegelapan… aku panggil kalian… datang… datanglah kepadaku…”
“Ya… aku mendengar kalian… beri aku kekuatan… aku serahkan semuanya tumbal darah ini sebagai persembahan…”
Ada juga terdengar suara tertawa lirih yang perlahan berubah menjadi cekikikan menyeramkan. Tawa itu makin keras, makin melengking, hingga tiba-tiba terhenti dengan suara geraman dalam:
“Hngghhh… mereka datang… mereka sudah di sini…”
Itu antara lain suara yang pernah didengar di rumah Mak Asih perempuan yang hidup sebatang kara.
Mengingat itu, hati Rusdi galau, sulit mengambil keputusan. Ia terpaku tanpa suara.
Ketukan yang
Mengubah Takdir
Tok. Tok. Tok.
Ketukan terdengar di pintu, berat dan lambat, seperti tangan yang sudah terlalu lama hidup di dunia ini.
Rusdi menelan ludah. Siapa yang datang tengah malam begini?
Sebelum pertanyaan sempat terjawab, pintu berderit terbuka sendiri.
Dingin menyeruak masuk. Di ambang pintu, berdiri sosok perempuan tua.
Ia mengenakan baju lusuh berwarna kelam. Tubuhnya kurus kering, kulitnya kusut bagai akar pohon tua yang meranggas di musim kemarau. Matanya cekung dalam, bibirnya hitam, dan tangannya menggenggam kantung kain basah.
Masuknya perempuan tua itu, udara menjadi berat, menyesakkan, seakan ada sesuatu yang tak kasat mata melangkah masuk bersamanya.
“Aku tahu di rumah ini, ada perempuan yang hendak melahirkan. Istrimu ya,” cerocos perempuan tadi dengan suaranya rendah, serak, seperti diucapkan dari tenggorokan yang penuh abu.
“Apakah, aku bisa menolongnya. Aku Mak Asih dukun tinggal di seberang jalan.”
Rusdi ingin menolak. Hatinya mengatakan, ada yang tidak wajar pada perempuan ini.
Tapi suara erangan perih Siti Aini, memaksanya mengangguk.
Mak Asih tersenyum. Malam pun berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan terlupakan.
Kelahiran yang
Bukan Kehidupan
Mak Asih mendekat, bersimpuh di sisi Siti Aini. Tangannya yang kurus dan panjang menyentuh perut perempuan malang yang baru menikah itu. Ada sesuatu yang bergerak di dalam perutnya lebih dari sekadar bayi, lebih dari sekadar kehidupan.
Mulutnya komat-kamit, melantunkan mantra dalam bahasa yang asing, suara yang menggema meski hanya diucapkan dengan pelan.
Tiba-tiba, Siti menjerit. Bukan hanya jeritan kesakitan, tetapi jeritan yang datang dari tempat yang lebih dalam, jeritan yang menyayat udara dan membuat malam bergetar.
Mata Siti Aini membelalak. Tubuhnya kejang-kejang. Dari perutnya, terdengar suara aneh, seperti sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.
Rusdi melompat, mencoba menahan tubuh istrinya. “Hentikan! Apa yang kau lakukan setan?!”
Mak Asih hanya tertawa, suara yang bagai gesekan batu nisan yang retak.
“Sudah terlambat.” Dan semuanya berhenti.
Siti diam. Tubuhnya kaku, wajahnya membiru. Darah menggenang di bawah selangkangannya, lebih banyak, membentuk pola yang tampak seperti simbol-simbol kuno.
Mak Naila menjerit. Rusdi terpaku, dunia di sekelilingnya serasa runtuh.
Sementara itu, Mak Asih merogoh kantung kainnya, dengan gerakan cepat, ia memasukkan gumpalan daging merah segar ke dalamnya.
“Terima kasih,” bisiknya, “kau telah memberiku tumbal ke-99. Darah bersama gumpalan daging ini akan kurebus. Airnya kuminum saban hari untuk menambah kesaktianku. Hi hi hi…”
Rusdi bangkit, amarahnya meledak. Emosinya tak terbendung. Lalu, ia menerjang ke arah perempuan tua itu.
Namun sebelum sempat menyentuhnya: Blarrr!
Tubuh Rusdi terpental ke belakang. Bukan oleh tangan, bukan pula kekuatan yang terlihat, tetapi oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh akal. Sangat misterius.
Mak Asih bangkit kemudian berdiri di ambang pintu, matanya berkilat merah dalam kegelapan.
“Aku akan kembali mencari tumbal terakhir.” Lalu ia menghilang dalam gulita.
Angin bertiup lebih dingin dari sebelumnya. Di kejauhan, seekor burung hantu melengking panjang, suara yang terdengar seperti tangisan.
Di dalam rumah itu, Rusdi terisak. Dalam dekapan tangannya, Siti Aini istrinya tak lagi bernyawa.
Perempuan muda itu telah berpulang ke rahmatullah setelah setahun menikah dengan Rusdi. Lalu, ia diguna-gunai oleh seseorang suruan mantan pacarnya.
Malam itu, sesuatu telah berubah. Kegelapan masih menunggu tumbal terakhir, tumbal yang ke-100 orang. Siapa orangnya, biasanya perempuan muda yang baru menikah.[*]