Cerpen Warsit MR
HATIPENA.COM – Pagi subuh Sarindi sudah mengeluarkan kerbau dari kandangnya untuk berangkat membajak di lembah Cumplung. Pekerjaan membajak tanah tegalan itu sudah dilakukan secara turun temurun sejak kakeknya hingga tanah itu diwariskan kepada ayahnya.
Sarindi tinggal di Desa Wilayu bersama ayah, ibu dan adik-adiknya. Jarak antara rumah Sarindi dengan lembah Cumplung cukup jauh, sekitar empat kilometer. Untuk membajak di kawasan Cumplung sebenarnya Sarindi merasa keberatan, tetapi karena takut dengan orang tua akhirnya ia mengikuti keinginan ayahnya. Empat ekor kerbau digiring dengan berjalan kaki menuju Cumplung. Sementara Pawiro Saman -ayah Sarindi- berjalan mendahului dengan memikul bajak di pundaknya.
Lembah Cumplung adalah ratusan hektare tanah tegalan yang luas membentang milik ratusan penduduk asli di sana. Lokasinya terletak di sebelah tenggara Kota Wonosari, dan sebelah Barat Laut Desa Jasem, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berjarak sekitar tujuh kilometer dari kota Wonosari –ibukota Gunung Kidul. Struktur tanah di kawasan Cumplung berwarna kemerahan, relatif lebih subur dibandingkan dengan daerah Gunung Kidul lainnya yang notabene terkenal dengan wilayah pegunungan kapur.
Sebagian tanah tegalan Cumplung yang merupakan warisan dari Taruno Dimejo -ayah Pawiro Saman- kakek Sarindi, luasnya ada sekitar tiga hektar. Setiap mendekati musim penghujan keluarga Pawiro Saman sibuk mempersiapkan lahannya dengan cara dibajak dan dicangkul. Kemudian ketika mulai turun hujan mereka menabur bibit jenis padi gogo. Dan di sela-sela tanaman padi ditanami singkong, juwawut, dan jagung sebagai tanaman tumpang sari.
Mengingat lahannya cukup luas, untuk menabur benih padi dan tananam benih-benih lainnya keluarga Pawiro Saman biasanya meminta bantuan tenaga dari tetangganya. Ia tidak membayar tenaga tetapi dengan cara gotong royong –masyarakat desa di sana menyebutnya sambatan.
Setelah Sarindi dewasa sempat usul kepada ayahnya, agar tanah Cumplung dijual kemudian dicarikan gantinya yang dekat dengan rumah di Wilayu. Tetapi ayahnya tidak menyetujui karena tanah tersebut merupakan tanah warisan dari kakeknya. Ayah Sarindi merasa wajib nguri-uri tanah warisan itu, ia ingin tetap memegang teguh wasiat dari orang tuanya.
“Kakekmu dulu pernah berwasiat, agar tanah Cumplung tidak dijual,” ujar ayah Sarindi.
“Masalahnya kan jauh dari rumah Pak, capek dan waktunya habis untuk perjalanan.”
“Kamu jangan bilang begitu, kita ini kan tinggal melakukan seperti yang dilakukan kakekmu dulu. Jadi kamu tidak boleh mengeluh.”
“Lagi pula tanah warisan Cumplung itu termasuk tanah subur. Selain untuk tanaman padi gogo, cocok untuk ditanami palawija seperti jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan singkong.”
“Hasil bumi setiap tahun dari tegalan Cumplung itu bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup kita. Bahkan bisa untuk membiayai sekolahmu dan adik-adikmu,” tegas ayah Sarindi.
Mulai saat itu Sarindi tidak mau lagi diajak membajak tanah Cumplung. Setelah lulus SMA ia memilih pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan di kota. Di kota gudeg Sarindi ikut kawannya bekerja di sebuah pabrik roti. Merasa tidak cocok di pabrik Roti Sarindi pindah ganti pekerjaan. Ia diterima menjadi karyawan warung gudeg Juminten. Merasa kerjanya tidak cocok, akhirnya Sarindi memutuskan untuk bekerja sebagai penarik becak di kawasan Pasar Pingit.
Selama Sarindi pergi dari rumah, tugasnya digantikan oleh kedua adiknya yaitu Sariman dan Samijan. Mereka setia menemani ayahnya mengolah tanah tegalan Cumplung. Selain itu setiap pulang dari sekolah mereka membantu merumput dan memelihara kerbaunya. Sariman dan Samijan keduanya semakin sibuk karena kerbau peliharaannya telah melahirkan lagi sehingga jumlahnya menjadi lima ekor.
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah daerah Kabupaten Gunung Kidul melakukan pembangunan di segala sektor seperti pelebaran dan pengaspalan jalan, pengembangan kawasan wisata, pembangunan permukiman dan lain-lain. Dampaknya, banyak para investor yang tertarik menanamkan modalnya di sekitar kota Wonosari. Seperti membangun ruko, rumah sakit, rumah makan, real estate dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang telah membangun kampus baru di kawasan sebelah timur kota Wonosari. Menyusul kemudian pembanguan real estate di wilayah Kecamatan Mijahan yang letaknya tak jauh dari kampus UNY.
Tidak tertutup kemungkinan para pengembang perumahan di sekitar kota Wonosari, ke depan akan terus melakukan ekspansi sampai masuk ke pelosok pedesaan. Sehingga akan mempengaruhi harga tanah di desa. Yang pasti tanah tegalan atau pekarangan di desa harganya akan terus melambung.
Pembangunan kampus UNY secara signifikan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya. Terutama masyarakat Desa Kenteng, Kepuh dan Desa Jelok, Kelurahan Pacarejo. Selain itu juga Desa Mijahan, Kapanewon Semanu. Gejala pengembang perumahan masuk desa itu kemungkinan pada saatnya akan menggeliat masuk di kawasan Cumplung.
Ketika Pawiro Saman sedang istirahat di rumah kediamannya, tiba-tiba didatangi dua orang yang tak dikenal sebelumnya. Menyusul setelah beberapa waktu sebelumnya mereka menemui kepala desa setempat. Kedua orang asing itu mengendarai mobil berwarna putih, kemudian mengetuk pintu rumah Pawiro Saman.
“Permisi Pak, apa betul ini rumah Pak Pawiro Saman?” tanya tamu itu.
“Betul, Bapak ini siapa, dan dari mana?”
“Nama saya Purnomo dan teman saya ini Alex, Pak,” jawab Purnomo.
“Kami mohon izin minta waktu sebentar Pak untuk menanyakan sesuatu kepada Pak Pawiro Saman.”
“Mari, silakan duduk.”
Setelah saling berjabat tangan Purnomo dan Alex kemudian menduduki kursi penjalin yang ada di ruang tamu Pak Pawiro Saman.
“Mohon maaf sebelumnya kalau kedatangan kami mengganggu Bapak.”
“Kami berdua karyawan dari PT Prasojo yang rencananya akan membangun perumahan di kawasan Cumplung, Pak. Kami ingin menanyakan apakah tanah Bapak di Cumplung itu bisa kami beli, untuk kami bangun perumahan.”
Pak Pawiro Saman tidak menjawab. Ia tidak menduga akan ada yang mengajukan penawaran untuk tanah tegalan yang terletak di Cumplung.
“Kebetulan sesuai gambar rencana pembangunan perumahan, tanah milik Pak Pawiro masuk satu komplek dengan tanah milik PT Prasojo,” jelas Purnomo.
“Wah maaf Pak, nggak boleh. Tanah itu warisan dari orang tua saya dan selama ini menjadi sumber untuk hidup kami sekeluarga,” tolak Pawiro Saman.
“Pak maaf ya, perumahan di Cumplung itu nanti akan membutuhkan lahan sekitar dua puluh hektar lebih, dan kebetulan tanah milik bapak itu masuk kawasan lahan yang akan dibangun,” desak Alex meyakinkan Pawiro Saman.
“Ya silakan saja membangun perumahan di Cumplung. Asal Bapak tahu, saya tidak akan menjual tanah warisan dari orang tua saya itu.”
Pembicaraan mereka bertiga tidak menghasilkan titik temu. Pawiro Saman tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak menjual tanah warisan di Cumplung, sehingga Purnomo dan Alex pulang dengan tangan hampa.
Setelah enam bulan meninggalkan rumah, Sarindi pulang untuk menengok kedua orang tuanya. Dan selama bekerja di kota Jogja, ia sempat merasakan betapa sulitnya mencari uang. Selain memikirkan mencari uang untuk makan setiap hari, juga berusaha untuk membayar sewa becak serta sewa tempat tinggal meski hanya ala kadarnya.
Selain menengok keluarga, kepulangan Sarindi bertujuan ingin memberi tahu kepada orang tuanya bahwa di kawasan Cumplung akan dibangun sebuah perumahan besar. Sarindi menerima informasi itu melalui pesan Whats App dari beberapa temannya. Dan secara kebetulan selama perjalanan pulang dari Jogja, Sarindi sempat membaca papan reklame cukup besar terpampang di Jalan Wonosari, yang menawarkan perumahan di kawasan Cumplung.
Untuk yang kedua kalinya Sarindi membujuk ayahnya agar mau menjual tanah warisan di Cumplung. Menurut pertimbangan Sarindi lokasi kawasan Cumplung jaraknya cukup jauh dari rumahnya, dan khawatir kalau kedua orang tuanya semakin uzur tidak mampu menggarap tanah warisan tersebut. Sementara saatnya ada peluang pengembang perumahan yang membutuhkan lahan di kawasan Cumplung.
“Pak sekarang ini ada peluang baik kalu Bapak setuju untuk menjual tanah di Cumplung. Saya mendengar kabar harga tanah di Cumplung sekarang melonjak tinggi karena di sana akan dibangun perumahan besar,” ungkap Sarindi kepada ayahnya.
“Beberapa waktu yang lalu memang ada dua orang datang ke sini yang ingin membeli tanah kita di Cumplung,” sahut ayah Sarindi.
“Terus gimana, Pak ?”
“Ya saya nggak boleh, itu kan tanah warisan yang selama ini untuk mencukupi kebutuhan hidup kita.”
“Mungkin Bapak bisa berpikir ulang tentang untung rugi kalau tanah warisan Cumplung dijual. Pertama, hasil penjualan nanti bisa untuk membeli tanah yang lebih dekat dengan rumah kita,” sebagian lagi bisa untuk membangun rumah untuk kos-kosan di dekat kampus UNY yang baru,” bujuk Sarindi meyakinkan ayahnya.
“Lagi pula kalau yuswane Bapak nanti sudah sepuh, siapa lagi yang mau dan mampu untuk menggarap tanah Cumplung ?” tambah Sarindi.
“Ya coba nanti saya pikir sambil jalan, meski saya merasa berat. Akan saya bicarakan dengan ibumu dan adik-adikmu.”
Usulan Sarindi sempat mempengaruhi pikiran ayahnya. Selama ini di benak Pawiro Saman memang tak pernah terbersit sedikit pun untuk menjual warisan tanah Cumplung. Pria itu selalu memegang teguh wasiat dari ayahnya. Tetapi karena desakan dari Sarindi, anak pertamanya, dirasa masuk akal serta ibu dan adik-adiknya sudah setuju ditambah lagi kelihaian pendekatan dari karyawan PT Prasojo, Pawiro Saman akhirnya luluh juga.
Dari tiga hektar warisan tanah di Cumplung milik Pawiro saman, dua hektar lainnya setuju untuk dijual. Sementara itu yang satu hektar tetap dipertahankan untuk ditanami palawija seperti biasanya. Pawiro Saman merasa untuk tetap memegang teguh wasiat dari orang tuanya, sehingga tanah warisan itu tidak dijual semuanya.
Dua hektar tanah warisan Cumplung milik Pawiro Saman akhirnya berhasil dibeli oleh PT Prasojo dengan total harga Rp 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah). Sesuai dengan rencana Sarindi yang telah disetujui oleh kedua orang tua dan adik-adiknya, hasil penjualan tanah Cumplung itu sebagian diwariskan untuk tiga anak-anak Pawiro Saman, sebagian lagi untuk membeli tanah pekarangan di dekat rumahnya. Dan untuk membeli tanah serta membangun kos-kosan di dekat kampus UNY yang baru, di Desa Kepuh, Kelurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. Sarindi tidak lagi pergi merantau, ia lebih memilih fokus untuk mengembangkan kos-kosan milik ayahnya saja. Suatu hari Sarindi bermimpi menjadi juragan rumah kos yang sukses. (*)
Semarang, 8 Oktober 2024