Oleh; A.Yudi
Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986
HATIPENA.COM – Aku punya rasa itu sejak kelas 3 SMP.
Rasa yang tidak kutahu namanya waktu itu, tapi cukup untuk membuatku menoleh dua kali, dan diam-diam ingin tahu lebih banyak tentangmu.
Rasa itu tumbuh pelan-pelan, seperti tunas kecil yang tak disiram tapi tetap hidup karena cahaya dari kejauhan.
Lalu kita masuk SMA—dan ternyata dunia kita makin dekat. Aku tahu orang tuamu satu tempat kerja dengan ibuku.
Dan sejak itu, aku jadi rajin menjemput ibu ke sekolah, bukan semata karena bakti, tapi karena ingin—meski sekilas—melihat senyummu dari balik pagar atau lorong ruang guru.
Aku sering ketemu kamu, tapi tak pernah punya cukup nyali untuk menyapa.
Apalagi bilang apa yang selama ini bergemuruh di kepala.
Aku cuma siswa biasa, kamu seperti halaman buku yang terlalu indah untuk ditulis sembarangan.
Sampai kita lulus.
Sampai masing-masing membawa langkah ke arah yang tak sama.
Aku ke Malang.
Tiga bulan yang cepat tapi penuh gejolak.
Sempat mampir ke kostmu. Tapi kamu sedang pergi, dengan seorang teman pria yang aku kenal juga.
Dan di situlah, hatiku memilih untuk mundur.
Tanpa kata. Tanpa perlawanan.
Tak lama, aku berangkat ke Bekasi, masuk sekolah kedinasan yang hanya sedikit orang tahu.
Tak ada perpisahan, tak ada pengumuman. Aku pergi dengan rasa yang belum selesai.
Tiga tahun di ibukota, aku sibuk belajar jadi orang dewasa.
Tapi rasa itu… tidak pernah betul-betul hilang.
Ia duduk manis di dadaku. Kadang tertawa sendiri saat ingat tingkahmu. Kadang diam lama saat melihat foto SMA.
Cinta yang diam dan tak berbalas, dalam pandangan sufisme, bukanlah akhir dari segalanya.
Jalaluddin Rumi pernah menulis: “Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segalanya.”
Baginya, cinta adalah jalan pulang menuju Tuhan, dan cinta manusia hanyalah percikan dari cinta Ilahi yang lebih luas. Maka, bahkan rasa yang tidak berbalas bisa menjadi jalan untuk mengenal makna kepasrahan dan penerimaan.
Ibn Arabi, sufi agung dari Andalusia, menyatakan bahwa “cinta adalah realitas terdalam dalam alam semesta”—dan cinta sejati bukan soal memiliki, tapi soal memahami dan membiarkan sesuatu hidup dalam keindahannya, meski tak bisa dimiliki.
Hingga akhirnya aku pulang.
Membawa keberanian yang dulu tak punya nama.
Aku datang ke rumahmu, dengan degup jujur dan wajah yang tak lagi remaja.
Aku bilang semuanya.
Yang kutahan sejak SMP.
Yang diam sejak SMA.
Yang bertahan selama tiga tahun pendidikan di kota orang.
Kamu hanya diam.
Tapi matamu bercerita lebih jujur dari lidah siapa pun.
Aku tahu kamu menangis dalam hati.
Dan saat aku bertanya, “berapa persen rasa itu masih ada untukku?”
Kamu jawab, “kurang dari 50%…”
Dan saat itu juga, aku sadar:
Rasa yang kupunya, tak selamanya harus disambut.
Kadang, cukup dikenang.
Kadang, cukup dijaga dari jauh.
Sufi wanita terkenal Rabiah al-Adawiyah pernah berkata dalam doanya:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka-Mu, maka bakarlah aku di neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta-Mu, maka jangan Engkau palingkan wajah-Mu dariku.”
Rasa yang tidak dibalas bukan kegagalan—ia adalah ujian keikhlasan.
Cinta, jika dibersihkan dari keinginan memiliki, akan berubah menjadi doa.
Rencana tinggal di Bangil 10 hari, kupotong jadi dua.
Aku pergi ke Madiun, lalu kembali ke Jakarta.
Tenggelam dalam pekerjaan, dan akhirnya menikah dengan wanita baik yang kini menjadi istriku.
Tapi suatu hari, sahabat karibmu berkata…
“Dia sering nyari kamu, loh.”
Dan hatiku diam sejenak.
Bukan senang, bukan sedih. Tapi hangat. Seperti memegang surat lama yang masih wangi.
Kini kita punya hidup masing-masing.
Punya pasangan yang menemani hari-hari kita.
Tapi biarlah rasa itu jadi kenangan yang tumbuh tanpa harus pulang.
Jadi cinta yang tidak butuh rumah, cukup menjadi taman kecil di hati, tempat berdoa diam-diam.
Semoga kamu bahagia.
Dan semoga kita tetap bisa berteman,
sampai waktu tak lagi sempat mengetuk pintu. ? (*)
#menuliscerpenpramuka&persahabatan Cerpen ke-11