Anto Narasoma
Dalam kehidupan ini, persoalan sosial yang dialami tiap orang, akan menjadi pengajaran yang bijak bagi kita secara pribadi.
HATIPENA.COM – Karena itu, setiap persoalan yang muncul dapat menjadi cerminan bagi siapa pun, bahwa di balik masalah yang muncul adalah fitrah lahiriah.
Membaca 60 puisi penyair Heri Mastari yang terhimpun dalam kumpulan puisi Kado yang Tertunda buat Ulang Tahun Istri.
Dari judul antologi, saya jadi tertarik untuk membaca dan memahami isi secara estetika, ada apa di balik 60 puisi yang dirilis si penyair.
Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa persoalan sosial memang menarik untuk dikaji. Tatkala saya buka dan kubaca beberapa lembar puisi, ada hal menarik yang menyentuh perasaan.
Seperti dikemukakan penyair Edgar Alan Poe, persoalan sosial yang diangkat ke permukaan sebagai landasan dasar isi puisi, secara semiotik akan menjadi cermin yang bisa membuka kesadaran jiwa pembaca.
Dari bahasa tanda-tanda di balik kalimat puisinya, ada pengajaran tentang kebajikan yang bisa kita tangkap.
Banyak penyair yang menulis puisinya secara tersamar, sehingga pembaca harus lebih kreatif untuk menangkap, apa sesungguhnya yang hendak dikemukakan penyair dari balik rumusan karyanya.
Secara tematik (arti), pembaca bisa meraih sejumlah maksud yang ada di balik kalimat puisi yang dibacanya.
Seperti puisi pertama yang ditulis Heri Mastari bertajuk, Preman Ikut Jadi Caleg, mejelaskan perilaku si preman lirik yang tega memalak (melakukan permintaan uang secara paksa) orang-orang untuk digunakan membeli keperluan si caleg lirik sebagai calon legislatif dalam pemilu.
Ini sangat menyentuh ke persoalan sosial yang sedang menjadi pembicaraan masyarakat. Apalagi di tahun 2024, Indonesia akan menggelar pemilu. Secara umum, sebagai seorang warga negara, siapa pun diperkenan untuk ikut dalam pergolakan politik tersebut.
Tentu, situasi pemalak seperti yang diungkap penyair, merupakan persoalan sosial yang menyakiti perasaan orang lain. Ini masalah keburukan pribadi yang banyak dibenci orang.
Membaca puisi Preman Ikut Jadi Caleg sangat menarik dibaca. Dari kalimat awal, puisi itu menjelaskan tentang uang hasil “palakan” yang dibelanjakan bagi kepentingan pencalegan.
Dari kalimat awal menjelaskan sikap pemalak, perampok, dan pencuri dengan sikap tak tahu malu ikut mencalonkan diri menjadi calon legislatif.
_Ramai-ramai jadi caleg//Setelah penipu dan perampok//Kini giliran preman_..
Meski menggunakan daya ucap yang tegas, namun dari getaran jiwa penyair, ada nilai kekhawatiran terhadap orang-orang seperti itu.
Dari penjabaran kata secara konkret (The Concrete word), ada kekhawatiran diri penyair, kalau orang-orang seperti itu jadi wakil rakyat, akan dikemanakan arah perilaku masyarakat kita? Sebab wakilnya di DPR adalah preman, penipu, atau pemalak.
Kekhawatiran inilah yang menyebabkan nilai-nilai psiklogis itu mencuat dengan berbagai perasaan cemas dan was-was.
Dari kalimat kedua dijelaskan pula, .._Uang hasil memalak jadi modal untuk bikin kartu nama, baju kaos, bendera, topi, stiker, jam tangan, jaket, spanduk, kalender//Selebihnya untuk sewa mobil, nasi bungkus//Dimuat di koran, OT, dan bikin ijazah_..
Dari ungkapan tertulis, dapat dibaca bagaimana jika preman ini kelak menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat?
Dari sini muncul protes sosial dari jiwa penyair yang begitu dekat dengan persoalan sosial di dalam dirinya.
Pertanyaannya, mengapa muncul perasaan yang demikian? Bisa jadi persoalan hidup yang dialami penyair membuat dirinya menjadi seperti itu.
Bisa jadi, dalam hubungan ini pendekatan kejiwaan si penyair lebih mengutamakan pendekatan ekstrinsik dan intrinsik. Pendekatan seperti ini memang kerap kali terjadi terhadap diri siapa saja, terutama diri penyair, misalnya.
Ada persoalan sosial lainnya yang menyentuh perasaan saya, seperti puisi bertajuk Aku tak Bisa Bayangkan. Secara estetis, puisi ini mengutarakan kekhawatiran diri penyair terhadap nasib istrinya ketika ia mati nanti. Kenapa?
Pertanyaan ini memang sangat menukik apabila diterjemahkan menurut perasaan seorang suami terhadap istrinya. Dari alinea pertama, kondisi istrinya yang mengiris perasaan hatinya jika kelak ia meninggal dunia.
_Bila aku mati//Aku tak bisa bayangkan//Melihat istriku menjunjung kue//Berkeliling kampung//Dan//Menggendong anakku paling kecil//Di pinggangnya_..
Penyair begitu prihatin akan nasib istrinya kelak. Rasanya wajar andaikan seorang suami tak tega melihat nasib istrinya yang begitu menderita andaikan nanti penyair (lirik) telah mati.
Sebenarnya kita tidak beranggapan bahwa nasib keluarga penyair akan mengalami hal seperti itu. Bisa jadi ia pernah melihat kewdaan nasib buruk wanita lain yang mengalami hal seperti itu.
Rasanya tidak salah andaikan pernyair mengungkap keadaan seperti itu. Sebab di masyarakat kita, persoalan sosial seperti itu banyak terjadi dan banyak pula yang kita saksikan.
Pendekatan dikotomi semacam ini memang membuat perasaan seseorang (pembaca) akan pedih dan sedih.
Karena nilai kejadian di dalam persoalan sosial kita akan menggedor _feel of human_ (rasa kemanusiaan) kita. Munculnya getaran semacam ini merupakan nilai kejadian alami dalam strata kehidupan manusia sehari-hari. Tinggal kita, bagaimana cara menafsirkan bentuk dan corak dari persoalan itu.
Memang, penyair dituntut untuk lebih kreatif menafsirkan persoalan sosial yang berkembang yang terjadi di luar dirinya. Artinya, untuk menangkap apa yang sedang berkembang saat ini, dapat ia ulas secara detail seperti yang penyair ungkap dalam puisi Preman Ikut Jadi Caleg.
Memang, andaikan kita menafsirkan seorang preman ikut di dalam pergulatan sosial politik, pokok piliran kita menjadi tidak realistis. Sebab tak ada titik sambung antara sikap jahat preman dengan nilai kepempinan sosial (wakil rakyat) bagi tingkatan sosial kehidupan di masyarakat.
Sebab seperti yang diungkap penyair tentang kekhawatiran nasib istrinya (keluarganya) dalam puisi Aku tak Bisa Bayangkan, ketika nanti ajal telah mendekap dirinya di alam kubur.
Memang kita tidak bisa memastikan apakah sikap seorang preman akan selalu menjadi jahat di sepanjang hidupnya. Namun jika menelaah sikap seorang preman yang selalu keras meminta uang dengan cara paksa, ini tak manisiawi. Seolah tak masuk akal apabila ada kaitan dengan perasaan iba jika melihat istrinya menjunjung kue (berjualan kue) sembari menggendong anaknya.
Karena itu dari dalam diri Heri Mastari sendiri muncul sikap protes (sosial) terhadap adanya sosok preman yang maju ke gelanggang politik ke dalam pemilu nanti.
Terlepas dari persoalan itu, ada satu puisi yang juga menarik untuk ditelisik, yakni puisi Setan.
Nah, puisi yang satu ini menjelaskan tentang setan dalam arti klise (bukan setan dalam artian wujud yang seram).
Setan yang diungkap penyair adalan liuk-liuk perilaku yang berujud perilaku (sikap) manusia.
Dalam dunia sastra puisi, kita mengenal unsur tema atau arti (sense). Tema ini menjelaskan tentang setan sebagai ujud seram yang sejak awal dan akhir kehidupan selalu menjadi musuh bebuyutan manusia.
Namun dari nilai rasa (feel), penyair memproyeksikan setan dalam bentuk perilaku manusia. Puisi ini dideskripsikan Heri Mastari dalam berbagai bentuk perilaku.
Misalnya, .._Setan menari//Diiringi musik menggairahkan//Meliuk-liuk//Dan sangat merangsang//Menggoda_..
Kalau kita pernah menyaksikan tari strep tease atau tarian telanjang di nightclub, kita akan masuk ke dalam substansi gerakan-gerakan wanita yang merangsang.
Setiap gerakan akan membakar libido seorang lelaki muda. Tak heran apabila setelah tarian telanjang selesai, ada tawaran memikat untuk tidur melampiaskan segala persoalan seksual.
Meski barangkali penyair tidak menafsirkan masalahnya hingga sejauh itu, namun kondisi rangsangan akibat tari strep tease memang bisa seperti itu.
Godaan setan memang tak sebatas itu. Sebab selain bisa mengelus rangsangan manusia (laki-laki) godaan setan bisa merayap ke persoalan kebutuhan hidup manusia.
Karena itu Heri Mastari melanjutkan bait-bait puisi Setan pada alinea kedua dengan feeling yang mengena ke titik masalah…_Setan menari//Di timbangan pedagang//Di pasar tradisonal//Yang becek dan bau_..
Menari di lapisan kalimat Di timbangan pasar, bukan dalam konteks menari terlihat begitu saja, tapi “menari” di hati pedagang sehingga si pedagang bisa mengurangi bobot timbangan. Nah tarian setan memang bisa menghadirkan beragam persepsi sesuai tuntutan isi (puisi).
Dalam buku kumpulan puisi bertajuk Kado yang Tertunda buat Ulang Tahun Istri ini banyak estetika yang menggiring persepsi pembaca ke arah perilaku baik dan buruk. Ini persoalan sosial kita.
Meski hanya fenomena tujuan secara intensi, namun banyak penyair akan menuliskan ide puitiknya dengan cara kisahan (mengisahkan) simbolik yang merangkai gambaran kisah dan watak para pekakunya.
Dari catatan yang tersimpul ada ungkapan yang membakar pertanyaan hati saya pada puisi Aku tak Bisa Bayangkan tentang alur makna (sense of poe)
Dalam bait awal puisi dijelaskan .._Bila aku mati//Aku tak bisa bayangkan//Melihat istriku yang menjunjung kue//Berkeliling kampung_ dst.
Ada nilai esensi yang menjadi pertanyaan, apakah orang yang sudah mati bisa melihat dan membayangkan istrinya saat berjualan kue sembari menggendong anaknya?
Sense of feel ini perlu menjadi pertimbangan penyair agar ditulis lebih menyentuh ke rasa secara faktual. Sebab orang yang cukup kritis, bisa jadi akan bertanya seperti itu.
Namun bagi saya, kaidah seorang penyair itu bebas mengemukakan persoalan isi puisinya sebagai sikap yang kreatif. Sukses untuk Heri Mastari ! (*)
Palembang
24 Juni 2023