Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

March 13, 2025 09:56
IMG-20250313-WA0039

Denny JA

Kekosongan Sosiologi Agama di Era AI (6)

HATIPENA.COM – Di sebuah jalan kecil di Kyoto, Jepang, seorang pria tua berdiri di depan kuil Buddha yang diterangi lentera merah. Hari itu malam Natal. Namun, pria itu bukan seorang Kristen. Ia seorang biksu Zen, dan di tangannya ada secangkir teh hijau.

Di jalanan yang sama, beberapa keluarga Jepang sedang berfoto di depan pohon Natal yang menjulang di depan sebuah pusat perbelanjaan.

Lagu “Silent Night” mengalun lembut di udara. Esok harinya, mereka akan tetap ke kuil Shinto untuk menyambut Tahun Baru.

Di belahan dunia lain, di Paris, seorang ateis duduk di kursi katedral tua. Ia bukan datang untuk berdoa, tetapi untuk menikmati keheningan, merasakan atmosfer sakral yang telah berusia berabad-abad. Baginya, gereja adalah ruang bagi wisata spiritual.

Apa yang sedang terjadi?

Agama, yang dulu merupakan batasan identitas yang tegas, kini menjadi warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja. Ia bukan lagi pagar yang memisahkan, tetapi jendela yang terbuka bagi siapa pun yang ingin mengintip ke dalamnya.

Di abad ke-21, batas antara agama dan spiritualitas semakin kabur. Muncul fenomena baru: mereka yang mencari makna hidup, tetapi tidak lagi mengikat diri secara kaku dan eksklusif pada satu agama tertentu.

Mereka ini sering disebut spiritual but not religious (SBNR). Menurut survei global, kelompok ini kini menjadi yang terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam. (1)

Mereka tidak menolak agama, tetapi juga tidak terikat pada dogma. Mereka bisa mengadopsi meditasi Buddha, tapi menghayati kasih Kristiani.

Mereka menikmati puisi Sufi tanpa merasa harus menjadi bagian resmi dari agama Islam.

Bagi mereka, agama bukanlah tembok pemisah, tetapi sumber inspirasi. Kuil, gereja, atau masjid bukanlah sekadar tempat ibadah, melainkan ruang batin yang menyentuh jiwa.

Fenomena ini menandakan era baru: agama sebagai kearifan yang mengalir lintas batas. Bagi sebagian, agama bukan lagi label identitas yang harus dibatasi secara eksklusif.

-000-

Terjadi pergeseran fundamental dalam cara agama dipahami dan dialami di era globalisasi dan AI.

Berbeda dari Sosiolog klasik agama, Emile Durkheim yang melihat agama sebagai alat kohesi sosial dalam komunitas tertentu. Era ini menunjukkan agama menjadi pengalaman universal yang bisa dinikmati siapa saja, tanpa harus menjadi penganutnya.

Natal di Jepang, meditasi Buddha di dunia Barat, atau yoga yang diajarkan tanpa konteks religius adalah bukti. Bagi sebagian warga, agama kini lebih sebagai warisan budaya daripada identitas eksklusif.

Berbeda pula dari Sosiolog klasik agama lain, Max Weber yang menyoroti peran agama dalam membentuk etika ekonomi dan sosial.

Tapi kini agama bukan hanya sistem nilai bagi kelompok tertentu. Agama juga sumber inspirasi universal. Konsep mindfulness dan kasih dalam berbagai tradisi telah menjadi nilai bersama yang melampaui batas agama.

Berbeda dari Sosiolog klasik lain, Karl Marx yang melihat agama sebagai alat dominasi kelas penguasa.

Kini agama bukan lagi semata instrumen kontrol. Agama juga ruang kebebasan spiritual yang bisa diakses tanpa harus tunduk pada dogma atau institusi tertentu.

Fenomena ini menggeser pemahaman klasik tentang agama sebagai identitas tertutup menjadi ruang inklusif yang bisa dinikmati semua orang.

Agama kini lebih menyerupai jendela yang membuka wawasan daripada pagar yang memisahkan. Ia lebih sebagai harta budaya daripada batas identitas.

Inilah era baru spiritualitas. Bagi sebagian, agama telah bergeser dari kebenaran absolut menjadi warisan kultural milik kita bersama.

-000-

Ini prinsip kelima dari tujuh prinsip yang saya susun untuk membangun satu teori sosiologi soal agama dan spiritualitas di era AI.

Metodologi dalam riset ini secara khusus menggali hubungan dua variabel: antara perilaku beragama dengan fenomena globalisasi. Itu interaksi antarbudaya dan antar penganut agama yang semakin intens.

Fokus utama penelitian mengidentifikasi bagaimana meningkatnya interaksi lintas budaya mempengaruhi cara individu dalam menghayati agama dan spiritualitasnya.

Penelitian dimulai dengan studi literatur menelaah bagaimana globalisasi membuka pintu bagi perjumpaan beragam tradisi agama, sehingga batas-batas eksklusivitas agama mulai kabur.

Selanjutnya, survei berskala internasional dilakukan untuk mengungkap berbagai manifestasi spiritual yang muncul dari interaksi ini.

Hasil riset menunjukkan interkoneksi antarbudaya secara signifikan meningkatkan jumlah individu yang mengidentifikasi diri sebagai “spiritual tapi tidak religius”.

Mereka menjalani spiritualitas yang kaya, mengambil inspirasi dari beragam agama, tanpa harus terikat pada aturan atau ritual tertentu.

Di tengah globalisasi yang semakin deras, agama berevolusi menjadi samudera terbuka. Bagi sebagian, agama bukan lagi sekadar doktrin yang dibatasi dogma, melainkan arus budaya yang mengalir, menyatukan manusia dalam pencarian makna hidup yang universal.

Hari-hari besar agama kini lebih menyerupai festival budaya ketimbang ritual keimanan semata.

Lebih dari sekadar hari raya, ajaran dan praktik spiritual dari berbagai agama pun telah diuniversalisasi.

Meditasi dan Yoga: Dari Hindu-Buddha ke Dunia Modern. Meditasi, yang berakar dari Hindu dan Buddha, kini menjadi bagian dari terapi psikologi modern.

Yoga, yang dulu merupakan disiplin spiritual Hindu, kini diajarkan di gym dan studio di seluruh dunia.

Ironisnya, banyak yang menjalani yoga tanpa mengetahui bahwa kata yoga berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “persatuan dengan yang ilahi”.

Juga soal konsep Mindfulness dan Kesadaran Spiritual. Prinsip “hidup di saat ini”, yang berasal dari ajaran Buddha, kini menjadi inti dari psikologi positif dan terapi mental di Barat.

Mindfulness dipraktikkan bukan hanya oleh biksu, tetapi oleh eksekutif, atlet, hingga tentara. Bukan sebagai praktik agama, tetapi sebagai teknik manajemen stres.

Prinsip Kebaikan Menjadi Standar Universal. Prinsip “Golden Rule” – perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan – ditemukan di hampir semua agama.

Kini, ia menjadi nilai moral universal yang diterima bahkan oleh mereka yang tak beragama.

Pesan-pesan spiritual agama tak lagi terbatas pada kitab suci, tetapi telah menjadi kebijaksanaan umum yang diadopsi secara global.

-000-

Mengapa bagi sebagian individu, Agama Berubah Menjadi Warisan Kultural milik kita bersama? Ada tiga faktor utama yang mendorong perubahan ini.

Pertama: Globalisasi dan Interkoneksi Antarbudaya

Dunia semakin terhubung. Orang bisa mengenal tradisi agama lain melalui media sosial, migrasi, dan interaksi global. Perbedaan agama tak lagi menjadi batasan.

Kedua: Sekularisasi dan Spiritualisasi Masyarakat Modern

Di Barat, banyak orang yang meninggalkan agama dalam arti dogmatis, tetapi tetap ingin merayakan aspek sosial dan budaya dari agama tersebut.

Mereka tidak lagi melihat agama sebagai keharusan dogmatis, tetapi sebagai warisan tradisi yang bisa dinikmati tanpa harus percaya secara penuh.

Ketiga: Pencarian Makna yang Fleksibel. Manusia modern mungkin tidak lagi religius dalam arti konvensional, tetapi tetap mencari makna dan koneksi spiritual.

Mereka tidak ingin terikat pada satu agama, tetapi mengambil bagian yang relevan dari berbagai ajaran untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Agama tidak menghilang, tetapi berubah bentuk. Dulu, ia adalah pagar yang memisahkan. Sekarang, ia adalah jendela yang membuka dunia baru.

-000-

Berikut adalah tiga alasan terkuat mengapa kecenderungan ini membawa dampak yang sangat positif:

Pertama, agama sebagai warisan kultural mendorong inklusivitas dan toleransi global. Era AI mempercepat interkoneksi global, mempertemukan miliaran manusia dari latar belakang berbeda secara daring.

Saat agama dipandang sebagai warisan bersama, ia melampaui sekat-sekat dogmatis yang kerap menjadi sumber konflik.

Studi terbaru Pew Research menunjukkan bahwa semakin orang memahami agama sebagai budaya universal, konflik sektarian cenderung menurun.

Ini sangat penting di dunia digital, di mana perbedaan bisa viral dengan cepat dan memicu konflik skala luas. Agama dalam wujud budaya bersama memperkuat rasa saling pengertian dan mencegah radikalisasi online.

Kedua, agama sebagai warisan kultural menyediakan landasan etika universal di era AI. Teknologi kecerdasan buatan menghadirkan tantangan moral dan etis baru.

Misalnya, bagaimana menentukan batas penggunaan AI dalam kehidupan manusia, atau bagaimana AI membuat keputusan yang mempengaruhi nyawa manusia.

Dengan agama yang dilihat sebagai sumber nilai universal, seperti Golden Rule yang ditemukan hampir di setiap agama besar.

Masyarakat global memiliki kerangka etis bersama yang membantu mengarahkan teknologi. Tanpa kerangka nilai universal yang jelas, AI bisa berkembang liar tanpa kendali etis yang cukup.

Ketiga, agama sebagai warisan kultural melindungi identitas manusia di tengah dominasi AI. Di dunia yang semakin otomatis, banyak manusia mulai merasa kehilangan arti keberadaan dan tujuan hidupnya.

Di sini, agama yang tidak lagi dipandang secara eksklusif tetapi sebagai warisan spiritual yang kaya, membantu individu menemukan makna hidup secara personal tanpa terjebak dalam dogma.

Penelitian Universitas Oxford menunjukkan bahwa kelompok spiritual but not religious (SBNR) tumbuh signifikan di kalangan milenial dan Gen Z, generasi yang paling rentan terhadap gangguan mental akibat kehidupan digital. (3)

Mereka yang memiliki spiritualitas terbuka terbukti lebih kuat secara mental dan lebih adaptif menghadapi tantangan AI yang menggantikan banyak aspek kehidupan manusia.

Kecenderungan agama sebagai warisan kultural milik bersama sangat positif karena mendukung inklusivitas global, memberikan fondasi etika universal, dan menjaga makna eksistensial manusia dalam dunia yang didominasi AI.

Dengan agama dalam bentuk yang baru ini, manusia bukan hanya mampu bertahan, melainkan berkembang secara spiritual dan sosial di era kecerdasan buatan.

-000-

Tentu tumbuh pula kritik atas tumbuhnya tren yang menjadikan agama sebagai warisan kultural milik kita bersama.

Kritik pertama soal Reduksi Makna Agama. Prinsip kelima ini dapat dikritik karena mereduksi agama dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar warisan budaya.

Dalam tradisi teologis dan sosiologi klasik, agama memiliki dimensi transenden yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Jika agama hanya dipandang sebagai warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja, apakah ini tidak menghilangkan esensi ketuhanannya?

Kritik kedua, spirit agama warisan budaya menghilangkan Otoritas Institusi Agama. Melihat agama sebagai warisan budaya yang bisa diakses siapa saja berisiko mengikis otoritas institusi agama.

Jika individu bebas menafsirkan dan mengambil sebagian ajaran tanpa komitmen penuh, bukankah ini membuat ajaran agama kehilangan konsistensi dan otoritasnya?

Bagaimana agama bisa tetap relevan jika otoritasnya melemah?

Kritik ketiga, ia membuka Potensi Komodifikasi Agama.
Ketika agama diperlakukan sebagai warisan kultural yang dapat diakses siapa saja, ada risiko komodifikasi.

Ritual, simbol, dan praktik keagamaan bisa dipasarkan dan dikomersialkan tanpa pemahaman yang mendalam.

Misalnya, meditasi Buddha dan yoga sering kali diajarkan tanpa memahami akar spiritualnya, sekadar sebagai produk kebugaran.

Bukankah ini menjadikan agama hanya sebagai tren dan menghilangkan maknanya?

Ini bantahan atas kritik di atas. Agama Justru Menjadi Lebih Inklusif. Prinsip ini tidak mereduksi agama, melainkan memperluas cakupannya.

Dengan melihat agama sebagai warisan bersama, lebih banyak orang dapat mengakses nilai-nilai spiritual tanpa harus terikat pada dogma tertentu. Ini bukan penghilangan esensi agama, melainkan evolusi cara manusia menghayatinya.

Otoritas Institusi Agama Akan Beradaptasi. Institusi agama tidak melemah, tetapi bertransformasi.

Sepanjang sejarah, agama selalu beradaptasi dengan zaman. Dalam dunia yang semakin plural, fleksibilitas justru bisa memperkuat pengaruh agama.

Institusi agama dapat tetap relevan dengan menjadi pusat kebijaksanaan yang inklusif, bukan sekadar penjaga doktrin.

Spiritualitas Juga Tidak Harus Dikomersialkan.
Komodifikasi memang bisa terjadi, tetapi itu bukan alasan untuk menolak evolusi agama.

Justru dengan kesadaran baru ini, ada peluang untuk mendalami kembali nilai-nilai spiritual dalam bentuk yang lebih universal.

Daripada melihat ini sebagai ancaman, ini bisa menjadi momen refleksi bagi agama untuk lebih adaptif di era globalisasi dan AI.

Kesimpulannya, agama tidak kehilangan makna, tetapi menemukan bentuk baru yang lebih inklusif dan bisa diakses oleh semua manusia.

Ini bukan akhir dari agama, tetapi kelahiran kembali dalam bentuk yang lebih luas dan relevan.

-000-

Agama selalu berubah, seperti sungai yang mengalir mengikuti lekuk bumi. Ia tak pernah hilang, hanya menemukan bentuk baru.

Dulu, ia adalah pilar yang memisahkan satu komunitas dari yang lain. Kini, ia menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dalam pencarian makna yang sama.

Di tengah arus globalisasi dan era AI, agama tak lagi hanya menjadi keyakinan yang diwariskan turun-temurun. Ia telah menjadi warisan kultural, ruang batin yang bisa dihayati siapa saja, dari jalan-jalan Kyoto hingga katedral di Paris.

Namun tak semua sungai mengalir ke laut yang sama.
Di banyak negeri, tembok masih ditegakkan, agama tetap dijaga dalam pagar ketat keyakinan.

Di lorong-lorong kota dan pedalaman sunyi, komunalisme bertahan, konservatisme mengakar. Tak semua ingin agama jadi warisan bersama,
bagi sebagian, ia tetap tanah suci, tak boleh diinjak kaki asing.

Di luar konservatisme agama, muncul cahaya lain. Dan dalam keheningan, agama tetap ada, bukan sebagai tembok, tetapi sebagai cahaya yang menerangi setiap pencarian jiwa.

Ini akan terjadi di masa depan karena AI berkembang semakin cepat dan dahsyat. Bayangkan di sebuah ruang virtual reality di Jakarta. Seorang perempuan muda mengenakan headset canggih. Matanya menatap hologram Candi Borobudur yang berdiri megah di tengah kabut digital.

Tangannya menyentuh layar antarmuka, dan tiba-tiba ia mendengar lantunan ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh suara sintetis berbasis AI. Uniknya, momen itu juga diiringi musik gamelan yang diolah algoritma.

Ia bukan penganut Buddha atau Muslim, tetapi sedang mencari ketenangan batin melalui perpaduan warisan spiritual Nusantara.

Platform AI telah mengubah ritual agama menjadi pengalaman digital yang bisa dikustomisasi, disesuaikan dengan kebutuhan individual.

Pengguna bisa merayakan Nyepi dengan avatar biksu Bali. Ia bisa ikut virtual pilgrimage ke Mekah, atau meditasi bersama AI guru Zen. Semua itu ada dalam satu aplikasi.

Di sini, AI bukan sekadar alat, tetapi mediator spiritual yang mengaburkan batas antara sakral dan profan.

Di era ini, agama tak lagi mengetuk satu pintu, tetapi membiarkan semua jendela terbuka. AI bukan tangan yang menggantikan iman, melainkan angin yang menyebarkan serbuk kearifan ke tanah mana pun yang siap menumbuhkannya.

Mungkin kita tak lagi mencari Tuhan di satu rumah, tapi dalam jejak algoritma yang menyusun puisi-puisi Rumi, doa-doa sufi, dan mantra Buddha dalam satu layar. Jika makna bisa ditemukan di mana saja, bukankah itu bentuk iman yang paling luas?”

Agama dulu adalah sungai yang mengalir dalam batas-batasnya. Kini, dengan AI, ia adalah hujan: turun di mana saja, membasahi siapa saja, tanpa bertanya tanah apa yang disentuhnya.”***

Jakarta, 12 Mei 2025

(1) Mereka yang tak mengidentifikasi diri pada agama kini menjadi penganut ketiga terbanyak di dunia, setelah penganut Kristen dan Islam.

The unaffiliated rank third among world religion groups, Pew study says

(2) Sebanyak 81 persen non-Kristen di Amerika Serikat ikut merayakan Natal.

Christmas also celebrated by many non-Christians | Pew Research Center

(3) Spiritual but not religious tumbuh lebih banyak di Gen Z.

Premier Christianity Magazinehttps://www.premierchristianity.comGen Z might be more ‘spiritual’ than previous generations, but let’s be …