Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Aku Kekasih Junaenah

December 29, 2024 09:49
Junaenah, wanita imajiner Edy Samudra Kertagama (Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena)
Junaenah, wanita imajiner Edy Samudra Kertagama (Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena)

Edy Samudra Kertagama

IA LAHIR kala cinta tiba di pangkuan ibunya, juga didekap dalam rengkuhan bapaknya, selalu bermain dalam ayunan adiknya.

Aku amat kenal Junaenah, sekenal-kenalnya aku pada dirinya, tak ada rahasia antara aku dan dia, darahku darahnya, mataku matanya, hatiku pun hatinya pula. Dan dari kata-katanya yang terucap “Ia selalu merasakan perih tak terkira”.

Aku kenal sungguh Jenaenah, murid sekolah dasar madrasah itu, yang selalu mencari- cari kehormatannya  karena dirampaspaksa di atas ilalang di bawah langit tanpa cahaya.

Suara Junaenah kadang lembut kadang sedikit kasar, dan terasa sekali jika dia mulai mengeluarkan suara khasnya di tengah malam tanpa bintang dan gerimis  yang jatuh di atas tempayan. Aku terkapar bersimbah darah bersama ilalang, Aku takut dan tak bisa lari, diperlakukan kasar seperti saudaraku yang mati di tanah Jawa, hanya sedikit untungku masih dapat menghirup udara.

“Oh, Junaenah saat itu aku berfikir engkau terlalu baik untuk hidup, karena penderitaanmu”.

Pada suatu malam yang sepi dan dingin, ia amat marah, diambilnya gunting di atas meja dan ia menjerit panjang, “Tuhan jangan pergi jauh dariku. Aku sudah disakiti hamba-Mu, Tuhan ampuni aku.”

Aku menatap Junaenah, darahku pun terbakar saat kulihat Junaenah bersimpuh, matanya merah oleh derainya air mata, “Oh Junaenah andai saja saat itu aku tahu tubuhmu diperlakuan kasar, akan kujambak lelaki tak tahu untung itu.”

Aku benar-benar hafal segala sikap lakunya, bila ia senang ia tulisi aku kecil-kecil rapi namun jika benci datang tak terkira ditulisinya aku lewat tinta luber karena air mata.

Junaenah ingin sekali menampar wajah lelaki konyol itu, walau saat ini ia hanya bisa menangis di antara bunga-bunga bermekaran di halaman rumahya.

Di atas ranjang bambu ia pandangi purnama lewat jendela terbuka, sambil dibacanya kembali surat-surat dariku, karena ia masih ingat kata-kataku, “Junaenah jangan lagi-lagi kau bertemu dengan bajingan itu!”

Kucoba sadarkan ia dari lamunannya. “Junaenah akulah kekasihmu, jangan menangis karena engkau adalah Hawa dari seribu perih yang tak bisa dilupakan, tidak seperti laki-laki yang menodai hidupmu.”

Begitulah Junaenah, walau ia telah ternoda tiap malam selalu terdengar sebait do’a buat bapak dan ibunya.

Lampung-Indonesia, 2024

(Kisah tahun 2000 ditulis ulang di penghujung tahun 2024)