Ilustrasi : AI/ Gunawan Suno
Oleh Gunawan Trihantoro
HATIPENA.COM – Di sudut kampung yang sepi,
di rumah reyot tanpa lampu terang,
hidup dua bocah sendiri,
berpeluk nestapa dalam bayang.
Ayah telah pergi tanpa kembali,
ibu menyusul di pagi sunyi.
Kini hanya ada ia dan adik,
menahan lapar, menahan tangis.
Di dapur tak ada sebutir nasi,
di meja hanya piring berdebu.
Adiknya merintih, “Kak, aku lapar…”
hatinya perih, matanya sayu.
Lalu ia pergi dengan langkah ragu,
menuju kebun di ujung gang.
Bukan tamak, bukan nafsu,
hanya ingin seikat pisang.
Namun takdir begitu kejam,
tertangkap tangan, digiring ke jalan.
Warga ramai, marah membuncah,
mencaci bocah dengan amarah.
“Maling! Maling!” seru mereka,
tanpa tanya, tanpa jeda.
Diarak ia keliling kampung,
menahan malu, menahan pedih.
Sementara di rumah, adiknya menunggu,
perut kosong, mata nanar.
Tak tahu kakaknya kini dihukum,
karena seikat pisang yang ia harap.
Di mana hati, di mana nurani?
Mengapa miskin selalu dihina?
Jika keadilan buta dan tuli,
siapa peduli pada anak yatim yang sengsara? (*)
Rumah Kayu Cepu, 22 Februari 2025