HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Arinal Vs Dendi, Siapa yang Masuk Duluan?

October 16, 2025 07:20
IMG_20251016_071727

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Penggiat Literasi/ Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Katanya, hukum itu buta. Tapi kalau melihat peristiwa di Lampung akhir-akhir ini, sepertinya mata hukum cuma merem sebelah. Tangan satu sibuk dengan palu keadilan, dan satunya lagi… seperti memegang handphone sambil nunggu perintah dari “atas”. Lalu muncul teka teki: siapa duluan yang masuk bui? Arinal atau Dendi?

Kayaknya menarik, nih. Tapi siapkan dulu nasi hangat dengan lalap jengkol muda dan terong rebus. Jangan lupa sambal seruit campur terasi, terus diremes pake ikan goreng. Kita bahas ini sambil makan, yuk!

Ceritanya kan begini. Ada dua rumah bekas pejabat yang digeledah Kejati Lampung. Yang satu milik bekas gubernur, dan satu lagi rumah bekas bupati. Sama-sama “bekas”, sama-sama pernah minta dukungan suara di baliho, tapi waktu disorot kamera nasibnya beda. Yang satu langsung dikonferensi pers-kan ke publik dengan kilauan cahaya kamera wartawan. Tapi yang satunya lagi, entah menunggu siapa nggak jelas.

Rumah bekas Gubernur Arinal Djunaidi, digerebek pada 3 September 2025. Esok harinya langsung dikonferensi pers-kan. Harta benda senilai Rp38,6 miliar pun disita. Wow! Seolah jaksa ingin berkata, “Kami bekerja lebih cepat daripada ngulek seruit sambal terasi.”

Media pun riuh, publik pun heboh, dan netizen bikin meme, “38,6 em…ber cuy. Isinya apa aja tuh? Yang pasti bukan seruit, kan.”

Tapi giliran rumah Dendi Ramadhona, bekas bupati Pesawaran, yang digeledah pada 24 September, masyarakat langsung seperti kena “zona sunyi”. Karena sudah dua mingguan lebih, hasilnya masih menjadi misteri.

Ada yang bilang, kemungkinan hasilnya belum dipublis karena masih di-photoshop. Tetapi ada juga yang ngomong, kemungkinan barang sitaannya belum sempat ditata rapi supaya fotonya bagus pas dijepret wartawan. Atau bisa aja, Kejati sedang cari angle terbagus untuk headline. Kan harus eye catching, namanya juga mau publikasi, bro.

Kalau merujuk ke asas hukum “equality before the law”, maka semua warga negara seharusnya diperlakukan sama di muka hukum. Tapi di kasus ini, sepertinya yang sama itu hanya “before”-nya doang. Tapi setelah “before”, mulai deh beda-beda. Ada yang pending approval, dan ada yang fast track.

Nah, kalau dipakai istilah dalam dunia percintaan, kasus ini bagaikan dua mantan yang sama-sama mendapat chatting dari aparat hukum, tapi hanya satu yang langsung dibalas. Sedangkan yang satunya lagi cuma dibaca doang tanpa respons. Read tok…, nggak di-ekspos.

Memang sih, secara hukum tak ada kewajiban bagi Kejati untuk segera memublikasikan hasil penggeledahan. Tetapi publik sudah terlanjur menunggu. Pasalnya, di negeri yang suka banget dengan gibah ini, informasi hukum terkadang sering lebih ditunggu daripada gosip selebritis. Apa lagi kalau ada rumah pejabat yang digeledah, biasanya warga langsung pasang kuping.

Melihat kejadian ini, lalu ada yang berteori, barangkali perbedaan ekspos ini disebabkan nilai barang sitaan beda. Kalau yang satu Rp38,6 miliar, tapi yang satu lagi cuma Rp8 miliar. Di sini jelas beda levelnya. Ibarat pesta kawinan, yang satu pakai band life music di gedung mewah dan pelaminan lengkap dengan LED, sedangkan yang satu lagi hanya tenda di halaman rumah doang. Tapi hukum harusnya nggak boleh membeda-bedakan “nilai nominal mahar cinta”.

Dan yang sering terjadi, ekspos ditunda bukan karena menunggu hasil laboratorium forensik, melainkan karena “dugaan ada transaksi duluan.” Konon katanya sih, antara APH (aparat penegak hukum) dengan pejabat yang digeledah kadang terjadi barter kepentingan dan rasa. Barang bukti boleh disita, tapi hatinya belum ikhlas diumumkan.

Maka tak heran kalau kasusnya sering menguap… lalu menunggu rotasi pejabat, baru deh tuh “kasus lama digelar lagi”. Mirip seperti arsip kantor kelurahan. Lemarinya dibuka kalau lurahnya sudah diganti.

Dan anehnya lagi, pola ini seakan seragam banget dari Sabang sampai Merauke. Hanya bedanya dialek doang. Kalau di timur bilang “sabar kaka, masih proses e…” kalau di barat bilang “nanti dululah, bang…”. Namun maknanya sama saja: kasus ini diangin-anginkan dulu, yak.

Maka tak heran jika kemudian masyarakat pun punya teori sendiri. Konon, selama pihak yang disasar masih punya kekuasaan dan pengaruh, maka hukum akan tetap berlaku lembut dan manis, seperti pelayan kafe yang melayani pelanggan di VIP. Mungkin saja ini cuma kesimpulan yang suudzon, namun sayangnya… kok realitanya malah mendukung suudzon ini?

Ironinya lagi, hampir semua APH dengan yakin menyatakan hal yang sama, “Kami transparan, profesional, dan independen.” Iya, sih, kami memang percaya kok, tapi mungkin hanya di spanduk doang.

Kalau cara menegakkan hukum seperti ini, maka rakyat nggak perlu lagi baca KUHP. Cukup nonton saja reality show tiap pekan. Ada program acara “sitaan misterius”, “penggeledahan cepat tanggap”, dan “rotasi membuka luka lama”. Acara ini dijamin ratingnya tinggi, karena kisah nyata terkadang jauh lebih seru ketimbang sinetron.

Maka wajar saja jika masyarakat akhirnya membuat kesimpulan: hukum itu memang equal – setara di hadapan masyarakat biasa, bukan di dalam pasal. Karena itu mari kita tetap positif thinking. Mungkin kejaksaan tinggi cuma menunggu momentum yang pas saja. Mana tahu mereka akan membuat grand launching barang sitaan bareng dengan konser amal, supaya publik senang dan hukum pun nampak agak “berjiwa seni”.

Karena di negeri ini, sejatinya kesabaran itu hidup berdampingan dengan keadilan. Jika kamu wong cilik – pinjam jargon PDI P – maka bersabarlah menunggu giliran hukum agar berpihak padamu. Tapi kalau kamu seorang pejabat, maka bersabarlah untuk menunggu kasusmu diangkat… tapi setelah pejabatnya itu diangkat juga ke jabatan lain.

Boleh jadi, penundaan ekspose hasil geledah rumah Dendi hanya semata-mata menghargai istrinya yang baru dilantik sebagai Bupati Pesawaran. Namanya saja pasangan Samara – sakinah mawaddah warahmah – tentu harus saling mendukung dalam duka apa lagi suka, termasuk dalam urusan penggeledahan. Mana tahu si istri berbisik ke Kejati, “Pak, tolong ya, jangan buru-buru diekspos. Saya kan baru dilantik, kan jadi malu.”

Jadi, kalau ingin kasus ini cepat diproses, mungkin bukan pengacara yang harus dicari dulu, melainkan “jadwal rotasi aparat penegak hukum.” Karena di sini, kadang hukum bisa berjalan secepat karier pejabatnya, tinggal tergantung yang berkuasa. (*)

Bandar Lampung, 16 Oktober 2025
#MakDacokPedom