HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Asal Mula Pulau Legundi

August 23, 2025 05:23
IMG-20250823-WA0001

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Masyarakat Adat Lampung Saibatin, yang menghuni pesisir selatan Sumatra, menyimpan khazanah kearifan lokal yang kaya melalui tradisi lisan. Cerita rakyat bagi mereka bukan sekadar hiburan, melainkan medium penjaga memori kolektif, penuntun nilai moral, dan penjelas atas fenomena alam di sekitar mereka.

Salah satu legenda yang bertahan dan menjadi bagian dari identitas mereka adalah cerita tentang asal-usul Pulau Legundi, yang terletak di Teluk Lampung. Kisah ini tidak hanya menuturkan kejadian supernatural, tetapi juga merangkum nilai-nilai kepemimpinan (saibatin), kesetiaan pada adat, dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, dataran Lampung dilanda kemarau panjang yang sangat dahsyat. Sungai-sungai mengering, tanah-tanah pecah, dan tanaman padi gagal panen. Rakyat menderita kelaparan dan kehausan.
Sang Saibatin, atau Raja yang bijaksana bernama Ratu Dipuncak, memimpin rakyatnya dengan penuh keprihatinan. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat memegang teguh ajaran piil pesenggiri (harga diri), nemui nyimah (ramah tamah), nengah nyappur (proaktif bersosialisasi), dan bejuluk beadek (beradat beristiadat).

Dalam kitab Kuntara Raja Niti, salah satu naskah adat Lampung kuno, tertulis pesan moral bagi seorang pemimpin: “Jama sai batin nengah gheppok, ngaku jama beghasuk, ngindungi jama bebulungan.” (Orang yang berhati luhur haruslah berada di tengah-tengah kesulitan, mengakui yang berhak, dan melindungi yang lemah). Ratu Dipuncak mewujudkan pesan ini. Ia tidak tinggal diam di istananya, tetapi turun langsung melihat penderitaan rakyatnya dan terus-menerus bermusyawarah dengan para tetua adat untuk mencari solusi.

Setelah berhari-hari berdoa dan bermeditasi, Ratu Dipuncak mendapatkan wangsit melalui sebuah mimpi. Dalam mimpinya, seorang sesepuh berjubah putih berkata bahwa air masih melimpah di suatu tempat, tetapi untuk mendapatkannya, ia harus mengutus seseorang yang berhati bersih dan pemberani untuk menjemputnya.
Esok harinya, Ratu Dipuncak memanggil putra semata wayangnya, Pemuka Alam, seorang pemuda yang dikenal akan kecerdasan, kesalehan, dan keberanaannya. Sang Raja berkata, “Wahai putraku, tugas besar ini kuberikan kepadamu. Carilah sumber air yang dapat menyelamatkan negeri kita. Ikutilah petunjuk langit dan bumi.”

Pemuka Alam pun berangkat setelah terlebih dahulu melakukan cangget ghepanai, suatu ritual pelepasan yang dipimpin oleh para penyimbang adat. Dalam ritual ini, diucapkan mantra-mantra berbahasa Lampung kuno, salah satunya adalah: “Dewa-dewi nuwah lapah, tiyan nuwah nyappur, sang bumi nuwah nindung.” (Semoga dewata membuka jalan, semoga lautan bersahabat, semoga bumi melindungi).

Analisis filosofis dari ritual ini menunjukkan keyakinan masyarakat Saibatin bahwa setiap perjalanan besar harus dimulai dengan meminta restu dan perlindungan kepada kekuatan supra-natural serta leluhur, sekaligus menyelaraskan diri dengan alam.

Setelah berhari-hari berlayar mengikuti intuisi dan petunjuk bintang, Pemuka Alam tiba di sebuah pulau kecil yang tampak gersang. Namun, dari dalam pulau tersebut, ia mendengar gemericik air yang sangat jernih. Saat ia mendekati sumber suara itu, seekor naga besar berwarna hitam legam muncul menjaga mata air tersebut.

Naga itu adalah penjaga yang diutus oleh kekuatan gaib untuk menguji kesungguhan hati siapa pun yang mendekati mata air kehidupan.
Terjadilah pertempuran sengit. Pemuka Alam tidak mengandalkan kekuatan fisik semata. Ia terus mengucapkan doa-doa dan mantra dari ajaran leluhurnya.

Dalam Kitab Kuntara Raja Niti terdapat ajaran: “Sai nyakmuwah sang bumi, sang bumi nuwah muwah.” (Siapa yang merawat bumi, maka bumi akan membalasnya). Keberanian Pemuka Alam yang tulus untuk menyelamatkan rakyatnya, bukan untuk kepentingan pribadi, memberinya kekuatan spiritual tambahan.

Dengan satu tusukan tepat pada jantungnya menggunakan keris pusaka, naga itu pun kalah. Sebelum menghembuskan napas terakhir, tubuh naga yang gagah itu berubah wujud menjadi batu-batu besar yang mengelilingi mata air. Darah yang mengalir dari lukanya membasahi tanah pulau yang gersang itu. Secara ajaib, di mana darah itu menetes, tumbuh tunas-tunas hijau yang dengan cepat berkembang menjadi pepohonan yang rimbun dan subur.

Pemuka Alam kemudian membawa air kehidupan tersebut kembali ke kerajaan. Air itu tidak hanya mengakhiri kemarau, tetapi juga memiliki kekuatan menyuburkan yang ajaib. Sebagai peringatan atas pengorbanan sang naga dan keberanian Pemuka Alam, pulau tempat mata air itu berada kemudian dinamakan Legundi. Kata “Legundi” dipercaya berasal dari kata “Legu” yang berarti luas atau besar dan “Ndi” yang merupakan kependekan dari “Ghundi” (nama sejenis tumbuhan yang kemudian banyak tumbuh di pulau itu), atau ada pula yang menafsirkannya sebagai “Naga yang Berubah”.

Pulau itu menjadi simbol pengorbanan dan kelahiran kembali. Keturunan Ratu Dipuncak dan Pemuka Alam, yang sering dikaitkan dengan marga-marga tertentu dalam sistem marga atau klan Saibatin seperti marga Sultan Abdurrahman Nunyai dan Ratu Darah Putih, diyakini sebagai penjaga spiritual pulau tersebut. Legenda ini menjadi dokumen kuno tidak tertulis yang membentuk silsilah dan klaim historis mereka atas wilayah adat.

Legenda Asal Mula Pulau Legundi adalah lebih dari sekadar dongeng. Ia adalah esai budaya yang merefleksikan filosofi hidup masyarakat Lampung Saibatin. Dari kisah ini, kita belajar tentang kepemimpinan yang melayani (saibatin), pentingnya ritual dan adat sebagai penuntun hidup, keberanian yang disertai dengan kesalehan, dan pesan ekologis yang mendalam tentang simbiosis mutualisme antara manusia dan alam.

Setiap batu dan pepohonan di Pulau Legundi, bagi masyarakat adat, adalah pengingat abadi bahwa kehidupan berasal dari pengorbanan dan bahwa keselamatan suatu masyarakat bergantung pada ketulusan dan keberanian para pemuda dan pemimpinnya dalam menjalankan amanah adat. (*)

Sumber Referensi Terverifikasi:

  1. Hilman, M. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat Adat Lampung Saibatin dalam Cerita Rakyat. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.
  2. Kitab Kuntara Raja Niti (Naskah Digital). (2020). [Digitalisasi oleh Perpustakaan Nasional RI]. Diambil dari repositori Perpustakaan Nasional.
  3. Suryadi, A. (2015). Struktur dan Fungsi Mantra pada Masyarakat Lampung Pepadun dan Saibatin. Jurnal Literasi, 5(2), 123-135.