HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bagaimana (jika) Bali Disewakan pada Australia?

October 30, 2025 17:11
1761818924897

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Kemarin sore, dalam obrolan santai bersama teman-teman sastrawan dan penulis di sebuah sudut kafe kecil di kota Denpasar, tiba-tiba seorang di antara kami nyeletuk: “Gimana kalau Bali disewakan pada Australia?”

Kami semua terdiam sesaat, sebelum tawa pecah seperti kaca yang dilempar ke batu kenyataan. Tentu itu sarkas, tapi sarkas yang menggigit, menyengat, dan entah kenapa terasa sangat masuk akal.

“Bayangkan,” lanjutnya, “kalau Bali diserahkan pengelolaannya pada Australia, mungkin kita akan malu buang sampah sembarangan. Mungkin trotoar akan bersih, pedestrian tertata, drainase tidak mampet, dan air sungai tidak berbau busuk.

Lihat saja hotel-hotel yang dikelola manajer asing — disiplin, tegas, tertib, punya standar, dan komitmen yang kuat untuk menjaga nama baik. Tapi begitu dikelola kita sendiri, entah mengapa, rasa malu seolah hilang di serakan plastik dan puntung rokok di trotoar.”

Kami tertawa lagi, tapi tawa itu getir. Karena di balik candaan itu tersimpan kenyataan pahit: kita begitu mudah berpuas diri dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Jangankan sekarang, dulu ketika negeri ini diperintah oleh penjajah, bangunan-bangunan mereka berdiri kokoh, jembatan-jembatan mereka masih tegak hingga kini. Tak terdengar kabar korupsi seperti sekarang — penjajah pun punya disiplin. Mereka keras, memang, tapi keras yang melahirkan keteraturan. Jika ada yang korupsi, hukuman mati menanti. Tegas, tanpa basa-basi.

Sekarang? Kita merdeka, tapi justru makin korup. Kita bebas, tapi bebas untuk mencuri, memperkaya diri, dan membuang sampah sembarangan seolah bumi ini tong sampah pribadi.

Para sastrawan dan penulis di ujung meja itu menghela napas panjang, lalu diantaranya berkata lirih, “Penjajah yang dulu kita anggap jahat, ternyata tidak sejahat kita sekarang.”

Kami semua terdiam. Sebuah kalimat yang seharusnya tidak lahir di negeri yang mengaku sudah dewasa dalam berbangsa.

China bisa bangkit. Mereka tegas: yang korup dihukum mati, dan karena itu, tak ada yang berani korup.

Di banyak negara, teknologi dan moral berjalan seiring: wajah dicatat, perilaku dikenal. Tak ada yang berani mencuri, bahkan meninggalkan barang di meja restoran pun aman.
Sementara kita? Sandal, bahkan jemuran, pun bisa raib diambil maling.

Paradoks paling telanjang adalah: kita bangga menjadi bangsa merdeka, tapi gagal mengurus kemerdekaan itu sendiri. Kita punya budaya malu, tapi sudah lama tak tahu malu. Kita punya adat dan agama yang luhur, tapi kerap hanya diucap di bibir, tidak dihayati di laku.

Mungkin sarkasme teman itu memang tak sesederhana candaan.
Mungkin, dalam kata “disewakan pada Australia,” ada jeritan nurani yang muak melihat negeri ini terseret oleh paradoksnya sendiri — negeri yang katanya penuh tata krama, tapi buang sampah sembarangan; negeri yang katanya berketuhanan, tapi menuhankan uang; negeri yang katanya luhur, tapi kehilangan arah.

Dan, kami pun bubar dengan hening yang panjang. Bukan karena setuju Bali disewakan, tapi karena sadar — yang lebih menakutkan dari dijajah orang lain adalah ketika kita dijajah oleh kebodohan dan kemalasan kita sendiri.

Itulah dunia paradoks kita: merdeka, tapi tak beradab. Bebas, tapi tanpa arah, dan mungkin — tanpa rasa malu. (*)

Denpasar, 30 Oktober 2025