HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bakti Abadi Kyai Qori

January 24, 2025 08:48
IMG-20250124-WA0047

Puisi Esai oleh Ahmadie Thaha

-000-

Indralaya, Januari 1967,
tanah berdebu memeluk langit muram.

Kyai Ahmad al-Qori Nur berdiri di tengah lahan kosong,
seperti perahu tanpa dermaga, terapung dalam angan besar.

Angin menghembuskan doa-doa,
dan pohon yang menggenggam kenangan masa silam.

Di sinilah ia menanam mimpi,
bukan hanya sekadar pesantren,
tapi lautan ilmu yang abadi.

-000-

“Ayah, apa kita bisa membangun pesantren ini?” tanya anak sulungnya.

Suaranya selembut angin, tapi membawa badai keraguan.
Kyai Qori tersenyum.
“Langit pudar ini, Nak, akan kita warnai bersama.”

Ia mulai menggali tanah, tangannya berlumur harap.
Setiap goresan cangkul adalah doa.
Setiap tetesan keringat adalah mimpi yang dibungkus ikhlas.

Hari-hari membeku dalam kerja keras,
tetapi hatinya menyimpan senja,
di bukit penuh keyakinan memupuk asa.

-000-

Pondok kecil itu berdiri, rapuh, tapi penuh makna.

Dinding bambu berbisik dalam diam,
menguatkan hati yang lelah.

Satu per satu santri datang, membawa cahaya kecil.

“Ia mendambakan gerimis,
tapi Tuhan memberinya hujan deras,” ujar seorang tetua desa.

Namun Kyai Qori berkata,
“Kami tak takut basah, kami hanya takut berhenti.”

-000-

Di tengah dingin fajar, Kyai Qori menancapkan fondasi abadi.

“Al-Qur’an adalah mata air yang tak pernah kering,” katanya tegas.

Ia tanamkan hafalan sebagai akar,
seni qiraat sebagai ranting,
dan tadabbur sebagai buah yang manis dirasakan.

Santri-santri muda bersuara lembut,
ayat-ayat melayang di udara,
mengisi langit pondok dengan melodi keikhlasan.

“Kami ingin setiap jiwa di sini hidup dalam cahaya wahyu,” ujar sang Kyai.

Setiap huruf adalah obor yang menerangi hati.

Pondok ini menjadi taman al-Qur’an,
di mana setiap santri menanam huruf,
dan memetik hikmah yang berbuah keteguhan.

“Ayat suci ini bukan hanya untuk dihafal,” katanya lembut,
“tetapi untuk direnungkan,
agar menjadi pelita bagi umat manusia.”

-000-

Tahun demi tahun, badai sejarah menerjang.
Krisis datang seperti gelombang.

Namun ia dan keluarganya tetap berdiri,
seperti pohon yang tak rela melepaskan daunnya.

Anak-anaknya tumbuh, menggenggam obor harapan.
“Mengapa kita tetap bertahan, Ayah?” tanya anak bungsunya.

“Karena ilmu adalah matahari yang tak boleh tenggelam,” jawabnya.
Kata-katanya lembut, namun menusuk dalam.

-000-

Ketika anak-anak Kyai Qori dewasa,
mereka tak hanya membawa ilmu,
tetapi daya juang yang menembus batas.

Pesantren kecil itu tumbuh,
menjadi oasis di tengah padang gersang.
Kanvas kelabu mulai kehilangan warna suramnya.

Kuil ilmu ini kini bertaraf internasional,
menghimpun pelajar dari berbagai negeri.
Namun, jejak-jejak masa lalu tetap membekas.

-000-

“Ayah selalu berkata, roda sejarah tak pernah berhenti,” ucap salah satu anaknya.

“Dan kita adalah roda itu,” sahut yang lain.

Mereka melukis matahari baru,
di langit yang pernah kelabu.

Puisi mengalir lembut di setiap sudut pesantren,
dari doa pagi hingga renungan senja.

-000-

Kini, di usia yang menua,
Kyai Ahmad Qori melihat dunia dari sudut beranda pesantren.

“Langit ini telah kita warnai bersama,” bisiknya pada istrinya.
“Namun cinta tak pernah selesai.”

Hari-hari di pondok adalah pertarungan melawan rindu,
rindu pada santri yang terus tumbuh,
seperti pohon rindang yang tak lelah menaungi.

-000-

Kata-kata Jalaluddin Rumi mengiang di pikirannya:
“Jangan berduka. Apa pun yang hilang darimu, akan kembali dalam bentuk lain.”

Pesantren ini adalah bentuk lain dari mimpinya,
yang dulu hampir tersapu arus zaman.

-000-

Pondok Pesantren al-Ittifaqiah berdiri megah hari ini.
Anak-anak Kyai Qori adalah prajurit yang berbicara dalam diam.

Mereka tak mengejar pujian,
hanya ingin melukis matahari bagi generasi mendatang.

Dan langit Indralaya kini tak lagi pudar,
tapi cerah, seperti doa yang dihembuskan angin.

-000-

Catatan Kaki
(1) Kyai Ahmad Qori mendirikan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah pada tahun 1967 di Indralaya, Sumatera Selatan. Pesantren ini berkembang menjadi salah satu lembaga pendidikan berbasis al-Qur’an yang dikenal secara internasional, dengan ribuan santri dari berbagai daerah dan negara. Beliau wafat dalam usia 85 tahun pada 11 April 1996. Beliau berpesan, “Jangan pernah menolak santri.” Beliau menguasai berbagai bidang ilmu: tafsir, hadits, mantiq, fiqh, nahwu, shorof, balaghoh, faroid, tauhid dll.
Setelah wafatnya, kepemimpinan pondok dijalankan oleh puteranya KH. Mudrik Qori bersama yang lain.