HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bali (yang) Perlahan Meninggalkan Sawahnya

October 27, 2025 07:11
1761523623357

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Tampaknya, Bali sedang berada di persimpangan sejarahnya sendiri — antara bunyi mesin dan desir angin sawah yang kian pelan terdengar.

Pulau yang selama berabad-abad dikenal sebagai tanah agraris kini berubah wajah menjadi tanah industri, tanah jasa, tanah pariwisata.

Teman saya seorang penekun budaya Bali menyodorkan angka yang membuat saya tertegun. Dari 4,46 juta jiwa penduduk Bali, yang bekerja di sektor agraris — bertani, berkebun, berladang — tak sampai setengah juta jiwa, hanya sekitar 470 ribu orang, atau 17 persen dari mereka yang bekerja.

Apakah Bali masih layak disebut sebagai masyarakat agraris?

Kini justru sektor jasa yang menyalip: 525 ribu orang, atau sekitar 20 persen lebih, mencari nafkah di sektor yang berhubungan dengan pelayanan dan industri wisata. Bahkan, sektor produksi dan pekerjaan kasar melonjak lebih tinggi lagi, hampir 900 ribu orang atau 33,5 persen.

Maka, pertanyaan itu menggema di kepala saya: Masihkah Bali agraris?

Bila tidak lagi agraris, lalu bagaimana nasib budaya Bali — budaya yang lahir, tumbuh, dan berakar dalam masyarakat sawah dan ladang?

Gotong royong, menyama braya, dan rasa kebersamaan yang dulu berdenyut di pematang-pematang sawah, teriakan dan tawa khas pedesaan kini terasa makin jarang terdengar.

Waktu luang yang dulu memungkinkan warga berkumpul, menyiapkan upacara bersama, nyait canang sambil guyon, ngalap bunga, kini terkikis oleh ritme kerja industri dan jasa yang tak mengenal hari baik maupun buruk.

Segalanya menjadi serba praktis, serba beli. Canang beli, bunga beli, bahkan mati, lalu ngaben kini bisa dipesan lewat paket — tinggal pilih kelasnya: nista, madya, utama. Mau yang sederhana, menengah, atau mewah, tinggal pilih. Praktis sekali, modern sekali, tapi… Bali kah ini?

Budaya yang dulu berakar dari bumi kini mulai melayang di udara, terpisah dari tanah yang melahirkannya. Nilai-nilai agraris berubah bentuk, bergeser dari tanggung jawab menjadi hak.

Tanah warisan yang dahulu disebut “beban suci” — sesuatu yang harus dijaga untuk anak cucu — kini dipandang sebagai aset pribadi. Orang-orang tak lagi berkata, “Tanah ini titipan leluhur untuk diwariskan,” tetapi, “Ini hak saya, saya boleh menjualnya. Saya apakan saja, ini hak saya.”

Ada yang sampai berujar; yen sing jani adep, nyanan panake foya-foya. Miris mendengarnya. Daripada nanti anak cucu yang berfoya-foya, lebih baik kita yang menikmati sekarang.

Kalimat-kalimat yang terdengar rasional di telinga modern, namun mengiris di dada tradisi. Karena pada saat yang sama, tanah yang dijual bukan sekadar sebidang lahan, tetapi sebidang sejarah, sebidang doa, sebidang jiwa Bali itu sendiri.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas pergeseran ini? Apakah kita bisa menyalahkan modernitas, industri, atau pariwisata? Ataukah kita sendiri — manusia Bali yang tergoda oleh kilau praktisisme — yang perlahan meninggalkan akar budaya kita?

Inilah paradoks Bali hari ini: di atas tanah yang sama, sawah berganti vila, ladang berganti kafe, dan upacara berganti paket. Namun di dalam hati orang Bali, masih ada desir halus yang tak mau padam — kerinduan akan sawah, akan bau tanah basah, akan gotong royong yang jujur dan sederhana.

Mungkin itulah yang harus dirawat: bukan sekadar tanahnya, tetapi jiwa agraris yang menghidupi tanah itu. Sebab tanpa jiwa itu, Bali bisa saja masih indah dilihat, tapi kosong di dalam — seperti canang sari yang indah dan wangi tapi tanpa doa. (*)

Denpasar, 27 Oktober 2025

Berita Terkait

Berita Terbaru