Oleh Mila Muzakkar
Renungan Ramadan #3
HATIPENA.COM – Butiran air wudhu mengalir jernih di wajah-wajah umat Muslim yang baru saja selesai berbuka puasa bersama. Ketika itu, tahun 2019, mereka sedang menghadiri acara “Hang Out Kebhinnekaan” yang diadakan oleh Generasi Literat. Bukan di Masjid, tapi di Gurdwara, rumah ibadah umat beragama Sikh. Aku adalah salah satu dari umat Islam itu.
Tak ada beduk yang menggemakan panggilan shalat, juga tak ada kubah menjulang yang menaungi sujudku. Hanya panggilan hati untuk segera bertemu Tuhan.
Kugelar sajadah di ubin lantai di pojok Gurdwara. Lalu ayat-ayat Tuhan mulai mengalun. Keheningan menyatu dengan doa.
Di sekelilingku, para penganut Sikh berlalu lalang dengan langkah pelan. Tak ada tatapan aneh, tak ada bisik-bisik penuh curiga. Yang ada hanyalah penerimaan dan penghargaan, sikap yang belakangan terasa semakin langka di sebagian kelompok masyarakat.
“Assalamu alaikum”. Tiga rakaat shalat magrib t’lah kutuntaskan. Rasanya, tenang, damai, bahagia. Sama seperti ketika aku shalat di rumah, Mesjid, atau lapangan. Tak ada bedanya.
Kejadian ini kembali terulang di tahun 2021. Saat itu, Covid sedang ganas-ganasnya. Aku dan seorang teman sedang mendampingi anak-anak muda (Generasi Z) lintas Iman, dalam program “Gen-Z for Peace”. Acara ini diadakan di aula salah satu Gereja tua di kota Makassar.
Tema yang diangkat juga menarik, “Maeki Sipakatau” (dalam bahasa Bugis-Makassar berarti ‘mari saling memanusiakan’). Program ini hasil kerjasama antara Generasi Literat, Muslimah Reformis, dan United Nations Development Program (UNDP).
Waktu Isoma (istirahat, shalat, dan makan) tiba, salah satu panitia lokal, yang juga calon pendeta muda, mendatangiku. “Kak Mila, kalau mau shalat di sebelah ya, di dalam Gereja. Tempat wudhunya di kamar mandi belakang,” jelasnya.
Aku dan teman yang juga dari Jakarta mengikuti arahan itu. Saat hendak mengambil air wudhu, kami agak bingung yang mana kamar mandi yang dimaksud. Lalu beberapa perempuan, yang kuduga adalah pengurus dapur gereja, menghampiri, “Kamar mandinya di sini, Mbak. Boleh wudhu di sini,” ucapnya ramah, wajahnya sumringah.
Riang dan terharu, rasanya. Mereka dengan ramah menunjukkan “jalan-jalan” bertemu Tuhan yang kuyakini, yang tidak mereka yakini.
Sesuai dengan arahan kompas, aku menghadap jendela gereja, di samping tanda salib besar di tengah. Dalam keheningan, ayat-ayat Tuhan kembali mengalun.
Rasanya, tenang, damai, bahagia. Sama seperti ketika aku shalat di rumah, Mesjid, lapangan, atau Gurdwara. Tak ada bedanya.
Sebagian orang mungkin akan buru-buru melabeli: kafir! murtad! terkutuk! over! penistaan agama!
Mereka tak tahu, di bangunan itu, di rumah ibadah yang bukan “milikku”, Alfatihah, Surat Iftitah, Tahiyat, dan bacaan shalat lainnya juga terucap.
Mereka tak mengalami rasanya dijamu seperti tamu yang benar-benar diterima tanpa syarat. Laiknya seorang hamba yang dipersilakan berbicara dengan Tuhannya, tanpa ada manusia lain yang mengatur caranya.
Aku pun membayangkan bagaimana sakit dan hancurnya saat penganut agama lain melarangku beribadah, terlebih di rumah ibadahku sendiri. Itulah yang dirasakan sebagian masyarakat Indonesia. Di bumi Tuhan, mereka dipersulit bertemu Tuhan.
Aku bertemu Tuhan di mana saja. Di jalanan, di pasar, di penjara, di bar, di tembok tinggi dan megah, di ruangan sunyi di sudut gereja, di lantai dingin Gurdwara, dan di mana saja, di tempat yang tak bernama, tanpa label atau slogan agama.
Sebab Tuhan tak terkurung dalam satu tempat saja, juga tidak di satu bangunan tertentu. Tuhan lebih besar dari itu. Dia pencipta bumi dan isinya, lalu bagaimana mungkin Dia terkurung dalam satu bagian kecil dari ciptaan-Nya?
Tuhan Maha pengasih, di mana pun kita ingin bertemu dan curhat dengan-Nya, Dia selalu ada, menerima, dan mendengarkan.(*)
Jumat, 7 Februari 2025