Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Biofilia Goethe & Vulpius

May 25, 2025 06:34
IMG-20250525-WA0007

Oleh ReO Fiksiwan

Ich ging im Walde
So vor mich hin,
Und nichts zu suchen,
Das war mein Sinn.
………..

Ich pflanzt es wieder
Am kühlen Ort;
Nun zweigt und blühlt es
Mir immer fort.

Ku mengitari ke dalam hutan
Hanya seorang diri
Tak ada yang kucari
Yang ada dalam benakku
………..
Dan kusemai lagi bunga itu
Di wadah nan sunyi
Kini ia subur tumbuh bersemi
Mekar bersamaku selalu. —-
Johan Wolgang Goethe (1749-1832)

HATIPENA.COM – Fiksiwan Jerman kondang abad-18, pencetus gerakan budaya romantik dan “Strum und Drang” (Badai dan Desakan), Goethe di usia 62 tahun menuliskan sajak “Gefundene” (Ditemukan).

Sajak itu, dipersembahkan pada kekasih mudanya, Christiane Vulpius sebagai ekspresi yang kelak ditafsirkan oleh filsuf Erich Seligmann Fromm (1900-1980) dalam bukunya “Haben oder Sein“ (Indonesia: Memiliki dan Menjadi,1988) dengan dua modus eksistensi „memiliki“ (Haben) dan „menjadi” (Sein).

Untuk eksistensi budaya “menjadi” adalah sebuah ekspresi budaya biofilia. Budaya yang saling menumbuhkan dengan naungan cinta (filia).

Kutipan sajak Goethe di atas, mewakili tumbuhnya rasa saling mencinta ketika ia di usia uzur dipertemukan dengan seorang gadis dusun belia, Christiane Vulpius, yang selalu menjumpai Goethe bersama kanonya di tepi sungai Ilm, Weimar.

Goethe ketika itu masih menjabat sebagai Ketua Dewan Kota (Staatsman) yang sangat dihormati dan dikagumi di Weimar.

Kebudayaan dengan modus “menjadi” ini, kelak dikembangkan Fromm dengan istilah biofilia sebagai lawan modus budaya “memiliki” (Haben) yang dengan ekstrim menghasilkan kebudayaan destruktif, nekrofilia (Lihat, Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness,1973).

Dalam kesusastraan bertema bencana atau pandemi (Pestliteratur), budaya nekrofilia mencuat untuk saling meniadakan kehadiran sang liyan seperti tampak dalam pandemi Covid-19 tahun 2020 silam. Atau, dalam kasus-kasus konflik rasial.

Bagaimana karya sastra bertema pandemi maupun bencana mengungkapkan seluk beluk antara budaya biofilia vs nekrofilia, bisa diacu pada Heinrich Wilhelm von Kleist, Das Erdbeben in Chili (1807), Albert Camus, La Peste (1947), atau jauh pada abad-14, Giovanni Boccaccio dengan novel, The Decameron (1349).

Sajak Gefundene, sebagai genre sastra biofilia, ikut memengaruhi bentuk dan struktur sajak yang dikenal dengan “lirikisme” (Stymunglyrik).

Pada para penyair era Romantik Jerman, di antaranya, Schiller, Novalis, Heine, Hoffmann hingga Eichendorff, genre ini bisa dinikmati dalam An die Freude (1785), kelak digubah Beethoven, Symphoni N.9, Freude, schöner Götterfunken.

Menyusul Novalis, Hymnen an die Nacht (1797), Hoffmann, Nussknacker und Mausekönig (1816), Heine, Buch der Lieder (1817-1828); 2005 diterbitkan kembali oleh Anaconda. Terakhir, Eichendorff, Aus dem Leben eines Taugenichts (1826).

Meski Gefundene bersumber dari aktiva biofilia Goethe lansia dan Vulpius yang remaja, sajak pendek ini, meniru model haiku Jepang, sepenuhnya mengaktifkan modus eksistensial manusia “menjadi“ — Nun zweigt und blühlt es
Mir immer fort — yang diulas detilnya oleh Fromm dalam Haben oder Sein (1976). (*)