Oleh ReO Fiksiwan
“Para Malaikat mampu mengetahui dan memahami lebih baik daripada akal manusia, justru karena pengetahuan dan pemahaman tersebut datang kepada mereka melalui ide-ide yang ditanamkan oleh Tuhan.” — Mortimer Adler (1902-2001), The Angels and Us (1988;2005).
HATIPENA.COM – Jika artikel sebelumnya tentang Biografi Setan dalam Politik Kontemporer menyoroti bagaimana personifikasi setan merasuk ke dalam praktik kekuasaan, manipulasi, dan hasrat dominasi, maka refleksi ini mencoba menyeimbangkan narasi dengan menghadirkan malaikat sebagai entitas spiritual yang tak kalah penting dalam lanskap budaya politik kontemporer.
Para Malaikat, dalam hampir seluruh tradisi agama, adalah makhluk gaib yang tidak hanya menjadi simbol kesucian dan ketaatan, tetapi juga agen aktif dalam menjalankan mandat ilahi.
Dalam Islam, misalnya, peran mereka sangat jelas dan terstruktur: mulai dari Jibril sebagai pembawa wahyu, Mikail sebagai pengatur rezeki, Israfil sebagai peniup sangkakala, hingga Malik sebagai penjaga neraka dan Izrail sebagai pencabut nyawa.
Bahkan Munkar dan Nakir, sebagai penguji di alam kubur, serta para pencatat amal seperti Kiraman Katibin, menunjukkan bahwa malaikat bukan sekadar simbol, melainkan bagian dari sistem kosmik yang mengatur kehidupan manusia dari awal hingga akhir.
Dalam konteks politik kontemporer, para malaikat jarang dibicarakan secara eksplisit. Wacana politik lebih sering mengangkat figur setan sebagai metafora kekuasaan yang korup, manipulatif, dan penuh tipu daya.
Namun, justru karena itu, penting untuk mengangkat kembali biografi para malaikat sebagai refleksi atas kemungkinan lain dalam praktik kekuasaan: kekuasaan yang dijalankan dengan amanah, kejujuran, dan kesadaran spiritual.
Mortimer Adler (1902-2001) dalam The Angels and Us mengulas bahwa malaikat bukan hanya makhluk transenden, tetapi juga cermin dari potensi moral manusia. Ia menyebut bahwa dalam setiap tindakan baik, ada partisipasi malaikat yang membimbing manusia menuju kebaikan.
Lebih jauh dalam The Angels and Us, Mortimer Adler menjelaskan peran para malaikat secara filosofis dan teologis sebagai berikut:
“Angels are not merely forms of extraterrestrial intelligence. They are forms of extra-cosmic intelligence.”
Alihbasa: “Para Malaikat bukan sekadar bentuk kecerdasan ekstraterestrial. Mereka adalah bentuk kecerdasan ekstrakosmis.”
Kutipan Adler menekankan bahwa para malaikat bukan sekadar makhluk luar angkasa, melainkan entitas yang melampaui ruang kosmik, berfungsi sebagai penghubung antara dunia spiritual dan fisik.
Di sini, Adler menegaskan bahwa pengetahuan para malaikat bersifat langsung dan ilahiah, bukan hasil pengalaman empiris seperti manusia.
“First, an angel is spiritually present at whatever place in physical space happens to be occupied by the body on which it acts. It can be present at that place without leaving Heaven which is its spiritual residence.”
Alihbahasa: “Pertama, malaikat hadir secara spiritual di tempat mana pun di ruang fisik yang ditempati oleh tubuh tempat ia bertindak. Ia dapat hadir di tempat itu tanpa meninggalkan Surga yang merupakan kediaman spiritualnya.”
Ulasan Adler menggambarkan kemampuan para malaikat untuk hadir secara spiritual di dunia fisik tanpa meninggalkan dimensi surgawi, menunjukkan peran mereka dalam mengatur dan memengaruhi kehidupan manusia secara transenden.
Sementara, Sachiko Murata (82), profesor Studi Islam dan Perbandingan Agama di Stony Brook University, New York , dalam Islamic Spirituality: Foundations (1987;1995) yang disunting oleh Seyyed Hossein Nasr (92), menyatakan bahwa para malaikat adalah struktur spiritual yang menopang kosmos dan antropos. Mereka bukan hanya penjaga langit, tetapi juga penjaga nurani manusia.
Murata, pada bab ke-23, “The Angels” membahas secara mendalam tentang peran para malaikat dalam kosmologi dan spiritualitas Islam.
Para Malaikat adalah makhluk cahaya spiritual yang bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan dunia fisik.
Kata malak (malaikat) berasal dari akar kata yang berarti “utusan”, dan disebut lebih dari 80 kali dalam Al-Qur’an.
Dalam Islam, keimanan kepada malaikat adalah bagian dari definisi iman itu sendiri, sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah ayat 285.
Para Malaikat berperan dalam berbagai aspek: penciptaan, wahyu, kematian, kebangkitan, dan kehidupan spiritual manusia.
Dalam tradisi filsafat dan tasawuf, malaikat menjadi bagian penting dari psikologi spiritual dan kosmologi, mewakili dimensi makrokosmos dan mikrokosmos.
Para Malaikat tidak memiliki kehendak bebas seperti manusia, tetapi sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhan dan menjadi simbol kesucian, ketaatan, dan keteraturan ilahi.
Murata menekankan bahwa memahami para malaikat bukan hanya soal mengenal nama-nama mereka, tetapi juga memahami struktur spiritual alam semesta dan hubungan manusia dengan Tuhan melalui dimensi yang tak terlihat.
Dalam pandangan ini, para malaikat menjadi representasi dari dimensi etis dalam politik: kejujuran, keadilan, dan pengabdian.
Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi (65) dalam Iman Kepada Malaikat (2021) menegaskan bahwa keimanan kepada malaikat bukan sekadar pengakuan teologis, tetapi juga kesadaran eksistensial.
Para Malaikat hadir dalam setiap fase kehidupan manusia, dan kesadaran akan kehadiran mereka seharusnya membentuk perilaku sosial dan politik yang bertanggung jawab.
Dalam The Sacred History: How Angels, Mystics and Higher Intelligence Made Our World (2025), Jonathan Black (65) menyajikan narasi alternatif tentang sejarah dunia yang dilihat dari sudut pandang spiritual dan mistik.
Para Malaikat dalam ulasan Black ini bukan sekadar figur religius, melainkan entitas aktif yang membentuk jalannya sejarah manusia. Ia menulis: „This is the angelic version of events.”
Dengan pendekatan Black, sejarah bukan hanya kumpulan fakta, tetapi juga jejak intervensi makhluk cahaya yang membimbing, melindungi, dan kadang menguji umat manusia.
Para Malaikat digambarkan sebagai kekuatan yang hadir sejak penciptaan, terlibat dalam evolusi spiritual manusia, dan berperan dalam momen-momen krusial seperti wahyu para nabi, penyelamatan dari bencana, hingga inspirasi bagi tokoh-tokoh besar seperti Krishna, Moses, Buddha, Yesus, dan Muhammad.
Dalam dunia yang dilanda kecepatan informasi digital, di mana keputusan politik sering kali diambil secara instan dan impulsif, kesadaran akan fungsi dan tugas para malaikat menjadi semakin penting.
Para Malaikat tidak bekerja dalam hiruk-pikuk, tetapi dalam ketenangan dan keteraturan. Mereka tidak tunduk pada algoritma, tetapi pada kehendak ilahi.
Dengan kata lain, dalam dunia politik yang paradoksal—di mana idealisme sering bertabrakan dengan pragmatisme, dan moralitas dikalahkan oleh kalkulasi kekuasaan—biografi para malaikat menawarkan narasi tandingan:
Bahwa kekuasaan bisa dijalankan dengan kesadaran spiritual, bahwa keputusan bisa diambil dengan pertimbangan etis, dan bahwa jabatan bukan sekadar alat dominasi, tetapi amanah yang dijaga oleh malaikat.
Pertanyaannya kini: sejauh mana manusia modern, yang hidup dalam pusaran data dan citra, mampu mengenali kehadiran malaikat bukan hanya sebagai simbol spiritual, tetapi sebagai realitas faktual yang membentuk struktur kosmos dan antropos?
Lanjut Black dalam The Sacred History (2013) dengan mengutip Ibnu Arabi, tokoh sufisme abad-11, mengatakan bahwa malaikat adalah pikiran yang terbuat dari cahaya dan “mereka kekuatan yang tersembunyi di organ dan kemampuan manusia.“
Dalam dunia yang semakin paradoksal, di mana kebenaran bisa dikaburkan oleh opini, dan keadilan bisa dikalahkan oleh retorika, biografi para malaikat mengingatkan bahwa ada dimensi lain dalam politik—dimensi yang tak terlihat, namun menentukan. Malaikat tidak berpolitik, tetapi mereka mengawasi politik.
Mereka tidak berkampanye, tetapi mereka mencatat. Dan dalam catatan itulah, sejarah sejati manusia ditulis dan tentu di akhir hidup dunia dan manusia, semua catatan itu akan terkuak dengan sendirinya. Wallahu a‘lam bi sawab. (*)
#coversongs: Lagu “Angel“ dilantunkan Sarah McLachlan (57) dan rilis 28 November 1997, sebagai bagian dari album Surfacing.
Lagu Angel ditulis oleh Sarah McLachlan sebagai refleksi atas kematian musisi Jonathan Melvoin, keyboardist dari band Smashing Pumpkins, akibat overdosis heroin.
Lagu ini menyuarakan kesedihan, pencarian kedamaian, dan pelarian dari rasa sakit yang mendalam serta menjadi lagu penghiburan universal.
Sering diputar dalam momen-momen reflektif, peringatan, atau bahkan pemakaman. Lagu ini bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang pengampunan, penerimaan, dan harapan akan kehadiran spiritual yang menenangkan. (*)