BOLA itu ada di Prabowo sekarang. Tidak di PDIP. Tidak di Gerindra. Tidak juga di lapangan futsal. Ini bola ekonomi. Begitu panas sampai siapa pun yang memegangnya bisa terbakar kritik. Tapi, tenang, katanya Presiden Prabowo adalah pendengar yang baik. Dia mendengarkan rakyat, katanya. Mendengarkan, menyimak, lalu… ya entah.
Ahmad Muzani, sang juru bicara resmi, memastikan. “Pak Prabowo mendengarkan keberatan rakyat,” ujarnya, seperti seorang teman yang bilang, “Gua denger kok, cuma nggak janji ya.” Masuk telinga kiri, keluar entah dari mana.
Lalu muncullah nostalgia 2021. Masa-masa pandemi, kata Muzani, pemerintah dan DPR bersama-sama bikin undang-undang soal kenaikan PPN. Semacam momen galau bersama. “Dulu kan kondisinya Covid-19, negara bokek,” katanya, seakan bokek adalah alibi nasional yang pantas diabadikan dalam prasasti sejarah.
Kini, PPN 12 persen di depan mata. Sudah sempat disepakati, tapi tiba-tiba semua “kecewa.” PDIP protes. Gerindra ikut bingung. Partai-partai lain ikut-ikutan bertanya. Dan rakyat? Jangan tanya. Rakyat sudah lelah terkejut dengan aturan dadakan. Mungkin satu-satunya yang tidak bingung adalah dompet digital, karena mereka siap jadi sasaran tambahan pajak.
Tapi jangan salah. Demokrasi, kata Muzani, wajar seperti ini. “Semua proses kritik ini sehat,” katanya, sambil lupa bahwa kesehatan ekonomi rakyat mungkin tidak sejalan dengan ‘kesehatan demokrasi’.
Kita tunggu saja. Pak Prabowo, katanya, bakal umumkan keputusan besar. Apakah pajak 12 persen naik? Atau malah turun? Atau stagnan seperti tarif ojek online di jam macet?
Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa berharap. Berharap bahwa mendengarkan itu tidak berakhir jadi hobi tanpa aksi.
Jangan lupa, bola panas ini akan terus dilempar. Kalau bukan ke rakyat, mungkin ke partai lain. Kalau bukan ke partai lain, ya ke “situasi Covid-19 tahun 2021.”
Bola di tangan Presiden Prabowo. Tapi mungkin, rakyat adalah gawangnya. Kita semua tahu, siapa yang biasanya kebobolan.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar