Oleh: Nurul Jannah
Dari Kata yang Mengguncang Hati hingga Gelora Persaudaraan Sastrawan
HATIPENA.COM – Ada hari yang lewat dan berlalu begitu saja; tanpa suara. Namun, Rabu, 10 September 2025 adalah hari yang menyalakan bara dan gema di dada. Di PDS HB Jassin Lt.4 TIM, Jakarta, kata-kata menjelma gelombang yang mengguncang jiwa.
Diskusi Buku “Sakti”: kumpulan puisi trilingual karya Sastri Bakry: bukan acara biasa, tetapi perayaan cinta dan persaudaraan kata, tempat para pengelana sastra dari berbagai penjuru bertemu, dan saksi bahwa puisi mampu mempersatukan dunia.
Jejak Sebelum Acara
Aku hadir bersama Bu Minarni dan Bu Fey Anwar, dua sahabat komunitas NJD dengan semangat membara.
Sebelum memasuki kawasan TIM, kami bertiga menyempatkan diri menikmati santap siang sederhana di depan TIM. Di antara suapan nasi dan obrolan ringan, ada rasa antusias yang mengalir: bahagia menjadi pembuka suasana, seperti aba-aba bahwa hari itu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Rangkaian Agenda Penuh Getaran
Acara dibuka dengan penuh wibawa oleh sang Moderator, Pak Dikdik Sadikin, suaranya mantap namun hangat, menyulam suasana seolah menghubungkan kembali keluarga besar sastra.
Bapak Maman S. Mahayana, kemudian mengambil alih panggung dengan ulasan mendalam, mengupas lapisan-lapisan Sakti dengan tajam dan penuh empati, mengajak hadirin menyelami makna yang tersembunyi di setiap bait.
Ketika video kiriman Prof. Hashim Yaacob dari Malaysia diputar, ruangan mendadak senyap. Suara beliau: penuh kasih dari kejauhan: menegaskan bahwa kata-kata tak pernah mengenal perbatasan dan waktu.
Aku terpaku, dada sesak oleh haru. Aku tidak pernah membayangkan bisa berada di gedung legendaris ini, berdampingan dengan para sastrawan yang selama ini hanya kukenal melalui lembar-lembar Balai Pustaka. Nama-nama yang dulu terasa jauh kini hadir nyata di hadapanku: tersenyum, menyapa, bahkan meminta pandanganku. Rasanya seperti mimpi: perjalanan panjang kata-kata telah membawaku ke samudera sastra, di antara jiwa-jiwa yang mencintai bahasa.
Sekitar 60 peserta dari berbagai kalangan: sastrawan senior, penulis muda, akademisi, pecinta sastra, hingga masyarakat umum: memenuhi ruangan. Wajah-wajah itu bersinar penuh semangat, bukti bahwa puisi tak pernah kehilangan nyawanya. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan, tetapi untuk menyulam makna, berbagi rasa, dan meneguhkan bahwa sastra adalah rumah bagi semua.
Getaran Puisi yang Membahana
Lalu tibalah bagian paling menggetarkan: pembacaan puisi. Ibu Pipiet Senja membuka dengan “Ingin Kukabarkan Jejak Juangmu, Wahai Nenekku”, suaranya bagai doa panjang yang menyapu hati. Ibu Fanny J. Poyk menyusul, menggabungkan suara emasnya dalam lantunan lagu dan puisi, menciptakan harmoni yang membuat bulu kuduk berdiri.
Ketika Ibu Nuyang Naimee tampil, ia meledak dengan gaya teatrikal yang heboh luar biasa: setiap gerak dan intonasinya menghantam ruang dan menyalakan semangat. Bapak Jose Rizal Manua menebar energi dengan performa penuh gairah dan warna, Ibu Aniek Juliarni menghadirkan kelembutan nan menghanyutkan sekaligus menenangkan, dan Ibu Swary Utami Dewi memecah keheningan dengan getaran penuh rasa dan makna.
Tak berhenti di sana: hampir semua peserta ikut maju. Sampai peserta termuda pun ikut tampil. Satu per satu, mereka berdiri dan menyuarakan bait-bait indah yang telah mereka genggam di hati. Ada yang membacakan karya pribadi, namun lebih banyak yang memilih puisi dari buku Sakti. Tepuk tangan, sorak-sorai, dan air mata bahagia mengalir silih berganti. “Sakti besutan Sastri Bakry benar-benar membuktikan dirinya: kuat, menggetarkan, dan menyatukan.
Sambutan Syukur Sang Penulis
Sebelum acara ditutup oleh Moderator, last but not least, penutup yang syahdu datang dari Ibu Sastri Bakry, sang penulis Sakti. Dengan mata berbinar dan suara bergetar, ia menyampaikan rasa syukur mendalam dan terima kasihnya.
“Saya tak pernah menyangka, kata-kata sederhana ini bisa mempertemukan begitu banyak jiwa. Terima kasih telah menjadikan Sakti bukan hanya buku, tetapi ruang hati yang kita bagi bersama.”
“Hari ini kita bukan hanya membaca puisi,” lanjutnya dengan suara parau menahan haru, “kita sedang menulis sejarah hati bersama.”
Ruangan bergemuruh oleh tepuk tangan panjang, mengukir kenangan yang tak akan pudar.
Refleksi Diri
Senja merayap perlahan, tetapi hangatnya tak luntur. Diskusi-diskusi kecil bermunculan di sudut ruangan, gelak ceria dan bahagia mengiringi percakapan.
Saat pemberian penghargaan dan buku kepada para pembaca puisi dilakukan, tepuk tangan panjang pun kembali menggema, seolah merangkul setiap jiwa yang hadir. Momen itu bukan penutup biasa, tetapi janji: nyala kata-kata ini akan terus dinyalakan di tempat-tempat lain.
Ketika melangkah keluar dari gedung HB Jassin, aku menoleh sekali lagi. Senja menembus kaca, memantulkan bayangan para sastrawan yang bahagia, terharu, dan saling merangkul.
Di udara, gema puisi masih bergulung, berbaur dengan rasa syukur. Sakti bukan hanya judul buku: ia adalah energi yang menghentak, menyatukan, dan meneguhkan keyakinan bahwa kata-kata mampu menyalakan langit dan hati manusia.
Puisi adalah pelita yang tak pernah padam. Di HB Jassin hari itu, kita menyaksikan langit terbuka oleh kekuatan kata-kata. (*)
Bogor, 11 September 2025