HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Buku Seri – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran

July 27, 2025 07:42
IMG-20250727-WA0016

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Warisan adat adalah fondasi tak kasatmata yang mengikat masa lalu dan masa kini. Di tengah gempuran zaman modern, adat bukan hanya peninggalan, tetapi jati diri dan arah hidup suatu bangsa.

Di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai, tepatnya di Way Lima, Kabupaten Pesawaran, mengalir sejarah panjang, kisah lisan, dan semangat leluhur yang menyatu dalam adat masyarakat pesisir Lampung.

Way Lima bukan sekadar nama marga. Ia adalah simbol persatuan dari keberagaman puak dan kebudayaan pesisir. Di sinilah bertemu nilai-nilai luhur dari sembilan pucuk siger yang dahulu menyatu dalam adat, namun seiring waktu dua pucuknya, Nyekhupai dan Selegai, merantau dan menetap di daerah lain.

Maka dari sembilan, kini yang aktif dan menetap tinggal tujuh. Inilah yang menjadi dasar filosofis munculnya istilah “Siger Pesisir 7 Pucuk”, sebuah penyederhanaan dari sejarah yang kompleks namun sarat makna.

Masyarakat adat Way Lima menyimpan struktur adat yang khas:

  1. Seputih yang terbagi dua, yaitu KPSW (Kerukunan Punyimbang Seputih Way Lima) dan KPMPW (Kesatuan Punyimbang Marga Putih Way Lima)
  2. Kebandakhan Marga Sebadak
  3. Dan Marga Selimau, yang juga terbagi dua, yakni ISTIBATOKH (Ikatan Saibatin Babok Tungau Khandau) dan Bandakh Mal Selimau Makhga Way Lima
    Struktur ini tidak hanya merepresentasikan pembagian wilayah, tetapi juga cerminan nilai spiritual, tata sosial, dan sistem moral yang membentuk perilaku kolektif masyarakat Way Lima. Kekerabatan, piil pesenggiri, sakai sambayan, dan mak ngukui adat bukan hanya kata-kata tua, melainkan nafas dalam kehidupan sehari-hari.
    Untuk memperkaya pemahaman generasi sekarang dan yang akan datang, maka disusunlah seri buku ini. Setiap bukunya menyoroti aspek yang berbeda dari keberadaan, sejarah, hingga adaptasi budaya Marga Way Lima, disampaikan dalam narasi populer dan dapat dinikmati semua kalangan.

Seri 1: Siger Pesisir dan Sembilan Pucuk Adat
Menggali filosofi siger sebagai simbol adat pesisir dan bagaimana migrasi dua marga membentuk struktur adat baru: tujuh pucuk aktif.

Seri 2: Tujuh Kerajaan Pesisir dan Warisan Leluhur
Membahas secara rinci tujuh kerajaan atau kebudayaan besar (Babuk, Tungau, Khandau, Selegai, Hakhong, Belunguh, Nyekhupai) dan peran mereka dalam membentuk identitas budaya Lampung Pesisir.

Seri 3: Marga Way Lima: Struktur Sosial dan Identitas Adat
Menelusuri struktur sosial dan kebandakhan Way Lima, serta bagaimana marga-marga tersebut menjaga kesinambungan adat.

Seri 4: Nilai dan Filosofi Adat dalam Kehidupan Sehari-hari
Membahas prinsip etika masyarakat Way Lima seperti piil pesenggiri, sakai sambayan, dan nilai hidup yang diwariskan secara turun-temurun.

Seri 5: Adat di Era Modern
Mengevaluasi tantangan dan inovasi pelestarian adat di tengah perkembangan teknologi, pendidikan, dan urbanisasi.

Seri 6: Cerita Lisan, Mitos dan Legenda Way Lima
Mengumpulkan kisah rakyat, mitos, dan dongeng lokal yang hidup di masyarakat, sebagai sumber moral dan pelajaran budaya.

Seri 7: Perempuan Adat dan Peran Sosialnya
Mengupas posisi perempuan dalam struktur adat, mulai dari pengelola ritual hingga penjaga nilai-nilai keluarga dan bahasa.

Seri 8: Bahasa dan Simbolisme Adat
Membahas simbol-simbol adat seperti siger, tapis, dan bahasa Lampung Pesisir sebagai alat ekspresi budaya yang kaya.

Seri 9: Kearifan Lingkungan dalam Pandangan Adat Way Lima
Mengangkat nilai-nilai ekologis dalam adat seperti larangan merusak hutan, mata air sakral, dan hubungan spiritual manusia dengan alam.

Seri 10: Generasi Muda dan Warisan Budaya
Menyoroti peran pemuda dalam mempertahankan adat melalui media, pendidikan, festival budaya, dan revitalisasi tradisi.

Buku ini bukan hanya bahan bacaan, melainkan cermin identitas. Bukan sekadar dokumentasi adat, tetapi ajakan untuk kembali pulang, pada akar, pada asal, pada warisan yang membentuk kita.

Dalam tiap halaman, pembaca akan menemukan jejak-jejak kultural yang menghidupkan kembali jati diri masyarakat Lampung Way Lima. Dan semoga, dari pemahaman ini, muncul kesadaran kolektif untuk menjaga, menghidupkan, dan meneruskan.

“Adat way kita, piil jadi tameng, budaya jadi jalan pulang.”
Dalam setiap helai tulisan ini, saya bukan sekadar menulis cerita, tetapi menyulam kembali sulaman tua yang ditinggal para ninik-moyang. Sulaman itu adalah adat, piil, dan makna hidup yang diwariskan dari Babok, Tungau, Khandau, hingga ke Selimau dan Seputih. Way Lima bukan hanya nama marga—ia adalah napas, jiwa, dan akar.

Sebagaimana pepatah tua yang masih digaungkan dalam balai adat:
“Ngukhi adat, jaga piil; mitok waris, jangan luk atok.” (Menghargai adat, menjaga harga diri; menerima warisan, jangan merusak asal).

Saya berharap anak-anak muda Way Lima tidak lupa jalan pulang. Di tengah dunia digital yang deras, jangan sampai piil pesenggiri tergerus, jangan sampai sakai sambayan jadi asing. Sebab, adat kita bukan pakaian upacara, ia adalah prinsip hidup sehari-hari.

Sebagaimana pesan tetua marga:
“Cawak mulang ngelamak, cangguk ngumpul, mitok ngasuk kham.” (Berbicaralah dengan halus, bersikap dengan hormat, menerima tamu dengan tulus).

Adat kita tidak bisa dibeli di pasar, tidak bisa diganti dengan jabatan. Piil adalah kehormatan, dan piil hanya hidup kalau dijaga oleh perbuatan, bukan sekadar kata.

“Adat mak dapek beli, piil mak dapek tukar. Pusako dapek hilang, tapi adat tetap tinggal.” (Adat tidak bisa dibeli, harga diri tidak bisa ditukar. Warisan bisa hilang, tapi adat akan tinggal).

Kepada para penyimbang, para tua-tua adat yang masih menyalakan pelita budaya, saya titipkan suara ini: mari jaga api itu, jangan biarkan padam. Tanpa api adat, anak-anak muda hanya hidup dalam terang dunia, tapi gelap di dalam hatinya.

Dan kepada generasi muda: “Jangan tinggai tetuah, jangan tegaruk pelita. Tulah bah pepunduk, atok bah pandai.” (Jangan lupakan petuah, jangan padamkan pelita. Di situlah tempat berteduh, di sanalah sumber kebijaksanaan).

Mari kita jaga warisan ini bukan karena ia tua, tapi karena ia bijaksana. Mari rawat adat bukan karena ia wajib, tapi karena ia mulia. Dan mari hidup sebagai orang Way Lima yang sejati: “Sekah behayak, mak luk buay; nginguk dalam, ngelaki luar.” (Lembut bersikap, tak lemah semangat; kuat dalam, terbuka keluar).

Semoga tulisan ini jadi jembatan, dari zaman ke zaman, dari akar ke daun. Agar anak cucu tahu bahwa sebelum mereka lahir, tanah ini telah dijaga oleh adat dan dihormati oleh piil. (*)