HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Buya Hamka: Jejak Ulama dan Karya Sastra

December 30, 2024 22:37
Buya Hamka (Foto: Istimewa)
Buya Hamka (Foto: Istimewa)

Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris KEAI Provinsi Jawa Tengah)

DI TEPI Danau Maninjau yang hening,
lahir seorang anak yang kelak dikenang.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, namanya ditorehkan,
menjadi Buya Hamka, cahaya peradaban.

Dibesarkan di keluarga ulama, Islam sebagai pijakan,
ayahnya Haji Rasul, pembaru agama yang tajam pengamatan.
Namun Hamka tak hanya pengikut jejak,
ia pelopor, pemikir, mengubah ruang sempit menjadi luas cakrawala.

Remajanya penuh gelisah, tak puas hanya berdiam,
di usia belia, ia merantau, mencari hikmah di tanah seberang.
Yogyakarta, kota ilmu dan pergerakan,
di sana ia bersua dengan Tjokroaminoto dan Hadikusumo, pemimpin perubahan.

Hamka belajar, menyerap ide-ide segar,
mengolahnya menjadi prinsip yang kelak menjadi dasar.
Di Medan, ia menjadi editor yang tangkas,
memimpin “Pedoman Masyarakat,” memperjuangkan keadilan tanpa batas.

Karyanya mulai menapak, menggetarkan hati pembaca,
“Si Sabariah” dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah,” penanda awal kejayaannya.
Kisah cinta dalam adat yang membelenggu,
mencerminkan pergulatan sosial, renungan mendalam bagi yang membaca.

“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,” puncak lainnya,
kisah tragis cinta dan takdir, dalam lautan emosi manusia.
Hamka adalah penulis yang tak hanya berbicara soal rasa,
tetapi juga akhlak, prinsip, dan cinta kepada Yang Esa.

Tasawuf Modern ia tuliskan dengan liris,
menuntun jiwa menuju ketenangan yang hakiki.
Namun, Hamka bukan sekadar sastrawan,
ia ulama, politisi, dan pemimpin yang berpandangan luas.

Di Muhammadiyah, ia berjuang tanpa henti,
menggerakkan dakwah, meluruskan syariat yang hakiki.
Saat Masyumi berdiri, ia turut serta,
membawa aspirasi Islam ke ranah negara.

Namun takdir tak selalu indah dalam perjuangan,
Hamka dipenjara karena fitnah dan kesalahpahaman.
Namun di balik jeruji besi, semangatnya tak pudar,
ia menulis “Tafsir Al-Azhar,” magnum opus yang besar.

Keilmuan, keberanian, dan ketulusan hatinya,
membawanya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Gelar doktor dari Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia,
mengukuhkan namanya di antara tokoh besar dunia.

Hingga akhir hayat, ia tetap menjadi teladan,
dalam karya, sikap, dan doa yang selalu ia panjatkan.
24 Juli 1981, Jumat yang suci,
Hamka kembali ke pangkuan Ilahi.

Namun nama dan karyanya tetap abadi,
menjadi pelita bagi generasi yang mencari.

Blora, 30 Desember 2024