Karya : Mochamad Taufik
Kisah Ustadz Achmad Abu Syahid, Ulama Kharismatik dari Bangil
HATIPENA.COM – Hujan rintik sore itu mengguyur kota santri Bangil. Di sebuah langgar kecil bernama Langgar Katsiroh, seorang bocah berusia 9 tahun duduk bersila, menatap mushaf Al-Qur’an dengan khusyuk. Namanya Achmad Abu Syahid. Tangannya kecil, tapi suaranya tegas melantunkan ayat demi ayat.
“Bagus, Mad… teruskan,” ujar Kyai Abdurrahman Rois, guru ngaji yang wajahnya selalu teduh.
Achmad menoleh sambil tersenyum, “Kiai, saya ingin bisa membaca seperti panjenengan suatu hari nanti… yang bisa menenangkan hati orang lain.”
Kyai Abdutrahman tersenyum sambil menepuk pundaknya, “Kalau hatimu tulus, Nak, bacaanmu pasti membawa cahaya.”
Dari langgar kecil itulah perjalanan panjang dimulai. Achmad tumbuh di lingkungan kota santri yang tak pernah sepi dari gema tahlil dan kajian. Pagi ia sekolah, sore mengaji, malam menulis catatan tafsir dari guru-gurunya. Ia juga aktif di Masjid An-Nur Sanggeng Bangil, tempat KH. Malich mengajarkan makna dakwah yang lembut tapi tajam.
Suatu malam, KH. Malich membaca QS. Ali Imran: 110 dengan suara bergetar:
“Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas, ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah…”
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; kalian menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.”
Ayat itu seperti menyala dalam dada Achmad. Seusai pengajian, ia menghampiri gurunya.
“Yai… apakah mungkin saya, anak biasa dari Bangil ini, bisa ikut menjadi bagian dari ‘ummat terbaik’ itu?”
Sang Kiai menatapnya dalam, “Bukan asal dari mana yang membuatmu terbaik, Mad. Tapi keberanianmu menegakkan kebenaran, di mana pun kamu berdiri.”
Kata-kata itu menancap dalam. Sejak malam itu, Achmad menulis di catatan hariannya:
Hijrah ke Batam
Tahun-tahun berlalu. Setelah lulus dari perguruan tinggi Islam, Achmad benar-benar memutuskan merantau ke Batam—sebuah kota modern di ujung barat Indonesia, yang dari tepinya cahaya Singapura tampak berkilau di malam hari.
Namun langkah dakwahnya dimulai dari bawah sekali. Ia diterima sebagai marbot di sebuah masjid kecil di daerah Tiban. Setiap hari, ia menyapu, mengepel, dan mengumandangkan azan. Tak ada yang tahu, di balik kesederhanaan itu, ada seorang dai yang sedang menyiapkan sayapnya.
Suatu Jumat pagi, khatib tetap masjid itu mendadak sakit. Tak ada pengganti. Pengurus panik.
“Syahid… bisa tolong bacakan khutbah? Jamaah sudah datang banyak,” pinta salah satu pengurus.
Achmad terdiam sejenak. Ia menatap mimbar yang tinggi, lalu berkata pelan,
“Bismillah… kalau ini jalan yang Allah bukakan, saya akan naik.”
Ia berdiri di mimbar kayu itu. Suaranya bergetar di awal, tapi makin lama berubah mantap.
“Jamaah sekalian, kita hidup di dunia modern, tapi jangan sampai iman kita modernisasi pula. Jadilah umat terbaik sebagaimana firman Allah: ‘Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas…’ — jadilah umat yang berani menyeru kebaikan dan mencegah keburukan, meski dunia menertawakanmu.”
Selesai khutbah, masjid sunyi sejenak—lalu bergemuruh dengan haru. Seorang bapak mendekat sambil berkata,
“Mas, khutbahmu menyentuh hati. Sudah lama kami tak dengar khutbah yang sejujur itu.”
Sejak hari itu, Ustadz Achmad Abu Syahid mulai dikenal. Ia diundang ke berbagai masjid di Batam: dari Tiban, Batu Aji, hingga Nongsa. Bahkan ke pulau-pulau kecil yang hanya bisa dijangkau dengan perahu motor. Ia rela menyeberang di tengah hujan, membawa kitab dan payung kecil. Kadang ia harus tidur di rumah nelayan, kadang di surau bambu beratap rumbia.
Suatu kali, seorang pemuda bertanya padanya di atas perahu,
“Ustadz, apa nggak capek bolak-balik ke pulau begini?”
Ia tersenyum, menatap laut luas,
“Capek itu biasa, Nak. Tapi kalau lelah ini karena dakwah, justru terasa nikmat. Karena setiap ombak yang kita lalui akan jadi saksi di hadapan Allah.”
Ulama Kharismatik di Kota Perbatasan
Tahun demi tahun, namanya semakin harum. Dari marbot sederhana, kini ia dikenal sebagai ulama kharismatik di Kota Batam. Ceramahnya tidak hanya menggetarkan hati, tapi juga menyentuh logika kaum muda. Ia selalu mengingatkan,
“Dekat dengan Singapura bukan berarti kita harus kehilangan jati diri. Jadilah umat yang unggul karena akhlak, bukan karena kemewahan.”
Majelisnya di pinggiran Batam selalu ramai. Santrinya datang dari berbagai daerah. Rumah kecilnya berubah menjadi markas dakwah, tempat anak muda belajar tafsir, bahasa Arab, dan seni berbicara di depan umum.
Suatu malam setelah pengajian, seorang murid bertanya,
“Ustadz, apa yang membuat ustadz terus kuat berdakwah tanpa pamrih?”
Ia tersenyum, menatap lampu masjid yang mulai redup,
“Saya ini cuma tukang sapu yang diberi tugas Allah untuk menyapu hati manusia agar bersih. Selama masih bisa menyapu, saya akan terus berdakwah”.
Kini, setiap kali gema azan berkumandang di Batam, banyak orang teringat pada sosok Ustadz Achmad Abu Syahid—ulama yang dulu hanya marbot, tapi kini jadi pelita umat.
Dari Bangil ke Batam, dari langgar kecil ke mimbar besar, ia membuktikan satu hal:
Dakwah bukan tentang posisi, tapi pengabdian.
Bukan tentang seberapa tinggi kita bicara, tapi seberapa dalam kita mencintai Allah.
Dan di setiap khutbahnya, ia selalu menutup dengan kalimat yang menjadi napas perjuangannya:
“Jadilah umat terbaik. Karena dunia bisa padam, tapi cahaya dakwah takkan pernah padam.”
[16/10, 14.17] M. Taufik: assalamualaikum mohon bisa diterbitkan