Oleh : Ririe Aiko
HATIPENA.COM- Beberapa waktu lalu, saya menerima kabar dari seorang teman yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sebuah perusahaan besar. Bukan perusahaan sembarangan, melainkan tempat ia mengabdi dengan sepenuh hati, tempat ia menaruh hampir seluruh energi dan waktunya selama bertahun-tahun. Ia adalah sosok yang dikenal karena totalitasnya. Tidak pernah tanggung-tanggung dalam bekerja, selalu siap menyelesaikan tugas meski di luar jam kantor, dan hampir tidak pernah menolak tanggung jawab yang diberikan.
Namun pada akhirnya, totalitas itu tidak menjadikannya sosok yang kebal terhadap keputusan manajemen. Ia menjadi salah satu nama dalam daftar karyawan yang harus dilepas. Bukan karena melakukan kesalahan. Bukan karena kinerjanya menurun. Tapi karena perusahaan berada di ambang krisis struktural dan perlu memangkas beban. Dalam sistem yang rapuh, kadang pengorbanan menjadi bagian dari strategi bertahan hidup.
Situasi ini menyisakan luka yang lebih dalam dari sekadar kehilangan pekerjaan. Rasa dikhianati oleh sistem yang pernah ia percayai begitu besar, menyatu dengan kegelisahan menghadapi hari esok yang serba tidak pasti. Ia kehilangan bukan hanya penghasilan, tapi juga rasa memiliki terhadap tempat yang dulu ia perjuangkan tanpa pamrih.
Inilah realitas dunia profesional hari ini. Loyalitas tidak selalu dibalas setimpal. Integritas dan kerja keras kadang kalah oleh kalkulasi finansial dan efisiensi jangka pendek. Dalam sistem yang mengedepankan angka, manusia sering kali sekadar menjadi baris dalam laporan tahunan—mudah dihapus, mudah diganti.
Namun hidup harus terus berjalan. Sekuat apapun guncangan yang datang, manusia dituntut untuk tetap berdiri, menyusun ulang langkah, dan mencari celah agar tetap bisa melanjutkan hidup. Di tengah situasi yang semakin tak menentu, menjadi tangguh bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Kita tidak bisa lagi sepenuhnya bergantung pada satu perusahaan, satu jabatan, atau satu sistem. Kita sendiri yang harus membangun ulang pondasi kehidupan, dengan sumber daya yang kita miliki.
Cerita ini menjadi pengingat bahwa di era yang semakin berantakan, banyak hal bisa hilang dalam sekejap. Tapi daya juang tidak boleh ikut hilang. Setiap orang bisa menjadi korban dari sistem yang pincang. Namun dari setiap keterpurukan, selalu ada ruang untuk bangkit—asal ada keberanian untuk menerima, bergerak, dan menata ulang arah.
Semoga, siapa pun yang sedang berada di titik rendah hari ini, masih bisa menemukan kekuatan untuk bertahan. Karena tak peduli seberapa kacau keadaan di luar sana, harapan adalah satu-satunya hal yang tidak boleh kita lepaskan. (*)