Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Sudah lama saya tidak menulis cerpen. Kali ini sebuah true story yang sangat tragis. Peristiwa penculikan dan berujung pada penghilangan nyawa. Simak cerpenya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.
Malam itu Jakarta menutup mata dengan lampu jalan yang redup. Tapi di parkiran supermarket Ciracas, justru ada mata-mata lain yang terbuka. Mata gelap yang mengintai, mata yang haus, mata yang sudah lama kehilangan nurani. Di sanalah Mohamad Ilham Pradipta (37), Kepala KCP BRI Jakarta Pusat. Ia pria sederhana dengan jas rapi, seorang ayah yang hanya ingin pulang, seorang suami yang besok pagi berencana membelikan sarapan untuk keluarganya.
Tak ada firasat. Hanya rutinitas biasa. Kunci mobil diputar, mesin menyala, hidup seolah baik-baik saja. Sampai tangan-tangan kasar itu datang, seperti pencuri yang merampas bukan dompet, bukan barang, tapi napas. Ilham sempat melawan, tentu saja, siapa yang rela diangkut begitu saja? Tapi suara protesnya tenggelam oleh kain, tubuhnya dipaksa menyerah pada ruang sempit mobil putih yang dingin.
Detik itu, dunia keluarga Ilham berhenti berdetak, meski mereka belum mengetahuinya.
Subuh di Bekasi, seorang penggembala sapi, bukan polisi, bukan aparat, hanya seorang lelaki sederhana, menemukan jasadnya. Tubuh Ilham terbaring kaku di tanah basah, mata ditutup lakban, tangan terikat, wajah lebam. Seolah-olah dunia sengaja mengikatnya agar tak lagi melihat keindahan yang dulu ia perjuangkan. Seolah-olah seseorang ingin menulis tanda seru kejam di tubuhnya: inilah harga sebuah kebaikan di kota yang bengkok.
Di rumah jauh sana, telepon berdering. Kabar itu datang, memecah pagi, menghancurkan hati. Istrinya jatuh terduduk, suaranya pecah jadi tangis yang bahkan dinding tak sanggup menahan. Anak-anaknya masih setengah mengantuk, menatap dengan mata bingung: kenapa mama menangis begitu keras? Mana papa? Kenapa semua orang mendadak bicara pelan?
Di layar kaca, berita muncul, “Motif masih diselidiki.” Kalimat dingin, kaku, tanpa rasa. Seakan-akan nyawa suami, ayah, kepala keluarga itu hanyalah teka-teki yang bisa ditunda jawabannya. Empat orang ditangkap, katanya hanya penculik, bukan pembunuh. Lalu siapa pembunuhnya? Siapa yang menutup mata Ilham dengan lakban? Siapa yang mengubah seorang pria penuh prestasi menjadi jenazah yang ditutupi kain kafan? Dunia menjawab dengan diam.
Di ruang duka, istri Ilham memegang erat tangan suaminya yang sudah dingin. Air matanya jatuh satu per satu ke kain putih. “Kau selalu pulang setiap malam,” bisiknya, “tapi kali ini kenapa begini caranya?” Anak-anak memeluk kaki ibunya, menangis tanpa benar-benar mengerti. Mereka hanya tahu satu hal: ayah takkan pernah pulang lagi.
Lalu, kita, para pembaca, ikut tercekat. Ada rasa getir yang sulit diusir. Ilham tidak punya musuh, tidak punya dosa, tidak pernah bercerita tentang ancaman. Ia hanyalah manusia baik yang berusaha hidup lurus. Tapi di kota ini, kelurusan justru bisa membunuhmu.
Kisah Ilham bukan sekadar berita kriminal, ia adalah tragedi manusia yang dipaksa berhenti di tengah jalan, tragedi keluarga yang kehilangan cahaya, tragedi kita semua yang sadar bahwa hidup bisa direnggut kapan saja, bahkan saat kita merasa aman.
Malam itu, mata Ilham ditutup dengan lakban. Tapi kita yang membaca ini, mata ikut basah oleh air bening yang mengalir di pipi. (*)
#camanewak