- Pengantar Buku Isti Nugroho “Menyembah Bendoro Cuan”
Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Di sebuah gang sempit di Jakarta Timur, seorang ibu paruh baya bernama Bu Sarmi duduk di teras rumah kontrakannya.
Tangannya menggenggam selembar uang seratus ribu rupiah hasil “serangan fajar” menjelang pemilu.
Uang itu dipakai untuk membeli beras, sedikit minyak, dan susu bubuk untuk cucunya. Baginya, uang itu bagaikan anugerah: menyelamatkan keluarganya dari lapar hari itu.
Namun di sisi lain, uang itu adalah simbol getir: hak politiknya ditukar dengan selembar kertas yang hanya bertahan seminggu.
Ia sudah mengalami, setelah pesta pemilu usai, tak ada politisi yang benar-benar peduli dengan hidupnya.
Kisah Bu Sarmi bukanlah anekdot tunggal. Ia cermin dari wajah bangsa yang diam-diam telah menyembah “berhala modern” bernama cuan.
-000-
Kisah ini yang teringat ketika saya membaca buku Isti Nugroho. Ia seorang aktivis demokrasi dan seniman.
Isti menyebut roh zaman Indonesia pasca-Reformasi sebagai “menyembah Bendoro Cuan.” Uang bukan lagi sekadar alat tukar, melainkan dewa yang menentukan arah politik, hukum, bahkan budaya.
Partai politik menjelma lapak. Intelektual menjadi makelar. Dan rakyat miskin dipelihara dalam kemiskinan agar mudah dibeli suaranya.
Demokrasi direduksi menjadi pasar transaksional. Martabat warga negara dikonversi menjadi rupiah.
Isti menggugat: apakah ini buah reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata?
-000-
Membaca esai Isti, saya teringat filsuf Harvard, Michael J. Sandel. Dalam bukunya “What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets”(2012), Sandel bertanya: Apakah kita harus bisa membeli segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang?
Ia mengingatkan: Masyarakat pasar adalah tempat di mana nilai-nilai pasar merembes ke setiap sudut kehidupan—dan menggeser nilai-nilai non-pasar yang kita junjung tinggi.
Bayangkan sebuah antrean vaksin darurat di tengah pandemi. Orang-orang berdesakan, penuh cemas, menunggu giliran.
Di barisan paling belakang, ada seorang ayah miskin yang membawa anaknya yang demam tinggi. Harapannya sederhana: segera mendapat suntikan agar anaknya selamat.
Tetapi tiba-tiba muncul orang kaya dengan “jalur khusus” yang bisa dibeli. Ia langsung masuk ke ruang vaksinasi tanpa perlu menunggu.
Anak si miskin tetap mengantre, tetap menunggu, tetap bertaruh dengan waktu—dan dengan nyawa.
Inilah potret paling telanjang dari bahaya pertama yang diingatkan Sandel: ketidakadilan yang diperbesar oleh pasar.
Pasar memang menjanjikan efisiensi, tetapi siapa yang benar-benar menikmatinya? Yang kaya bisa membeli jalan pintas; yang miskin terpinggirkan. Keadilan pun retak.
-000-
Bahaya kedua, yang lebih halus tetapi tidak kalah mengerikan, adalah korupsi makna. Sandel menulis: Kita sedang tergelincir ke dalam kebiasaan berpikir yang hanya menemukan makna moral di dalam pasar.
Bayangkan seorang orangtua yang ingin anaknya rajin membaca. Ia lalu memberi uang: setiap kali anak membaca satu buku, ia mendapat hadiah rupiah.
Mungkin anak itu akan membaca lebih banyak, tetapi lambat laun makna membaca tergerus. Membaca bukan lagi perjalanan intelektual, bukan lagi kegembiraan menemukan dunia baru, melainkan sekadar cara untuk mendapatkan uang.
Hal yang sama terjadi pada politik. Suara rakyat dijual dengan uang seratus ribu atau sekarung beras.
Demokrasi pun kehilangan maknanya. Ia tidak lagi menjadi wadah luhur untuk menentukan arah bangsa, melainkan pasar tempat suara dilelang kepada yang berani membayar paling tinggi.
Sandel membedakan antara ekonomi pasar dan masyarakat pasar:
• Ekonomi pasar: pasar adalah alat—untuk mengatur barang dan jasa secara efisien.
• Masyarakat pasar: pasar menjadi cara hidup—segalanya, dari cinta hingga doa, diukur dengan harga.
Begitu logika jual-beli merasuki ranah yang seharusnya dijaga oleh martabat, makna terdalam manusia mulai rusak.
Persahabatan menjadi transaksi, cinta menjadi kontrak, doa menjadi jasa berbayar, suara rakyat menjadi komoditas.
-000-
Sandel mengingatkan kita dengan pertanyaan sederhana tapi mengguncang: Apakah benar-benar tidak ada hal yang tak bisa dibeli dengan uang?
Jawabannya jelas: ada. Ada hal-hal yang suci, tak ternilai, yang hancur ketika dijadikan komoditas. Keadilan, cinta, solidaritas, demokrasi—semuanya kehilangan ruh jika diperdagangkan.
Jika kita membiarkan pasar menguasai segalanya, maka kita akan hidup di dunia yang efisien tetapi kejam, makmur tetapi hampa. Kita akan punya banyak barang, tetapi kehilangan makna.
Esai Sandel adalah panggilan moral. Ia mengingatkan bahwa ada batas yang harus kita jaga. Tidak semua hal pantas dijual. Ada nilai yang lebih tinggi daripada uang: martabat manusia, kesetaraan, dan makna kebersamaan.
Kisah antrean vaksin, suara rakyat yang dibeli, atau anak yang membaca demi uang adalah cermin.
Cermin yang menuntut kita bertanya: apakah kita masih menghargai makna hidup, ataukah kita telah menyerah pada berhala modern bernama uang?
Di sinilah, Sandel dan Isti bertemu: keduanya menggugat logika pasar yang kebablasan.
Bedanya, Sandel menulis dari ruang seminar Harvard; Isti menulis dari jalanan Jakarta, dari luka penjara, dari pengalaman nyata menyaksikan demokrasi Indonesia dibajak oligarki.
Tentu saja perlu dicatat juga sisi progresif dari kapitalisme—ia telah mendorong inovasi yang memangkas kemiskinan global.
Menurut data Bank Dunia, sejak 1990 hingga 2024 sekitar 1,3 miliar manusia terbebas dari kemiskinan ekstrem berkat pertumbuhan ekonomi global.
Teknologi murah (perdagangan elektronik, telemedis) dan filantropi korporasi di bawah kapitalisme sudah memperluas akses pendidikan dan kesehatan.
Ia juga meningkatkan harapan hidup (rata-rata 73,4 tahun) dan tingkat literasi global (87%).
Ini bukti bahwa mekanisme pasar, ketika diarahkan secara etis, bisa membentuk peradaban yang lebih inklusif dan manusiawi.
-000-
Buku Menyembah Bendoro Cuan karya Isti Nugroho menghimpun 16 tulisan: esai, cerpen, puisi, hingga naskah drama.
Isinya mencerminkan rekaman batin seorang sosialis-demokratis yang menolak tunduk pada kapitalisme.
Ada surat politik untuk Om Kiyuk (Soebadio Sastrosatomo), kritik tajam pada intelektual yang berkhianat, satire tentang generasi muda pragmatis di kafe.
Ada hal yang sangat menyentuh: memoar personal tentang ibu tiri yang penuh kasih, namun berbeda pandangan soal negara. Hingga esai refleksi distopia tentang manusia yang bercinta dengan mesin.
Semua ditulis dengan gaya “gado-gado” yang segar, tetapi memiliki benang merah: perlawanan terhadap oligarki dan kapitalisme serakah.
-000-
Filosofi utama yang lahir dari pertemuan Isti dan Sandel: uang adalah berhala modern ketika ia dipuja tanpa batas moral.
Berhala ini jauh lebih licik dari patung batu zaman purba. Mengapa? Ia hidup di ATM, di kertas suara, di kontrak proyek, di statistik pertumbuhan ekonomi. Ia tidak terlihat, tetapi menentukan hidup-mati rakyat kecil.
Di titik ini, esai Isti menjadi alarm moral: kita boleh hidup di zaman kapitalisme, tetapi jangan sampai jiwa bangsa kita tergadai kepada berhala bernama cuan.
Membaca Isti Nugroho dan Michael Sandel serupa mendengar dua suara dari dua dunia berbeda, tetapi beresonansi dalam satu nada: manusia lebih dari sekadar makhluk ekonomi.
Buku Menyembah Bendoro Cuan ajakan untuk menolak tunduk pada logika pasar yang serba menghitung.
Lalu kita kembali menegakkan nilai-nilai yang tak bisa dibeli: keadilan, martabat, solidaritas, dan cinta tanah air.
Jika kita membiarkan uang menjadi tuhan, maka demokrasi hanyalah topeng, politik hanyalah bisnis, dan rakyat hanyalah jongos.
Tetapi jika kita berani menolak, menegakkan batas moral, maka api kecil akan tetap menyala di tengah kegelapan.
Api itu bernama idealisme. Itu nyala yang tak pernah boleh padam dalam sejarah bangsa ini. (*)
Bali, 24 Agustus 2025
Referensi
• Michael J. Sandel, What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012.
• Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World