Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Deforestasi dalam Malam di Kampung, Karya Leni Marlina

January 24, 2025 16:53
IMG-20250124-WA0116

Esai Suheri Simoen

HATIPENA.COM – Membaca sajak Malam di Kampung karya Leni Marlina, sesungguhnya kita sedang ditepuk bahu terkait pembalakan hutan, deforestasi yang terjadi di negara ini.
Menyoal sajak yang menyuarakan tentang hutan atau deforestasinya, telah ditulis oleh banyak penyair. Menyebut beberapa nama, WS Rendra dalam Hutan Bogor, Taufik Ismail dalam Kopi Menyiram Hutan. Lebih tegas sastrawan Korrie Layun Rampan menyoal hal itu dalam antologi cerpen Kayu Naga.

Puisi Malam di Kampung karya Leni Marlina, selengkapnya sebagai berikut.

Kau bermimpi tentang kampung halaman
Tapi dalam mimpimu, jalan-jalan berubah menjadi aliran Sungai
Dan rumah-rumah tenggelam di dalamnya
Apa ini kampungmu?
Atau hanya kenangan yang salah membaca peta?
Langitnya terlalu gelap, tidak ada bulan
Yang menggantung di atas sawah
Kau mencari arah
Tapi setiap Langkah membawamu
Lebih dalam ke kampung yang hanya hidup di mimpimu
Camberra, Australia, 2012.

Indonesia yang dulu disebut-sebut ‘paru-paru dunia’, karena hutan-hutannya masih asli dan setiap tahun kian berkurang.

Bencana ekologi yang berupa deforetasi, akibat berkurangnya luas hutan itu, membawa dampak bukan hanya pada flora dan fauna yang ada di hutan itu, melainkan juga pada manusia.

Hutan yang gundul pastilah membawa dampak negatif. Dampak itu bukan saja terjadinya perubahan iklim, pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, serta ancaman banjir dan longsor di musim penghujan.

Leni Marlina, dalam Malam di Kampung, memberi pernyataan bila kampungmu telah berubah. Perubahan ini berupa bencana lingkungan yang berupa banjir bandang, sebagaimana dalam larik/ tapi dalam mimpimu, jalan-jalan berubah menjadi aliran Sungai/ dan rumah-rumah tenggelam di dalamnya//.

Jalan-jalan berubah menjadi aliiran Sungai, bukanlah mimpi, tetapi suatu realita. Hal itu menunjukan bila banjir tidak hanya menggenangi jalan-jalan melainkan juga rumah-rumah. Bila melihat tahun pembuatan puisi, 2012, maka sesungguhnya Leni sedang menaruh perhatian terhadap banjir yang terjadi di bulan Juli 2012 melanda Padang Sumatra Barat (?)

Sekadar untuk diingat, bahwa di tahun 2012, di Indonesia mengalami bencana banjir sebanyak 4.291, yang melanda beberapa wilayah di daerah.
Penyebab banjir diyakini karena debit curah hujan yang tinggi, daerah aliran Sungai yang mengalami pendangkalan, kebiasaan buruk msyarakat membuang sampah di selokan atau aliran Sungai, namun kita patut curiga bila deforestasi merupakan biang utama penyebab bencana banjir.

Deforestasi yang dilakukan secara legal melalui konsesi pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH) sejak zaman Orde Baru, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, atau karet, pembukaan lahan baru untuk pertanian atau transmigrasi.

Maupun deforestasi karena illegal logging, telah menjadikan hutan Indonesia susut secara meyakinkan setiap tahunnya.

Sejak era 1970-1999, telah dibuka hutan oleh pemegang HPH dengan alokasi 62 juta hektare, pada saat yang sama menghasilkan 612 juta meter kubik kayu bulat. Periode 1997-2000, hilangan hutan sejumlah 3,8 juta hektare per tahunnya. Masa 2001-2003, lenyap 73 juta hektare hutan. Rentang 2003-2012, 2,5 juta hektare hutan menjadi rusak.

Kampung semasa kecil, yang asli, Lestari tinggallah memori. Tak ada lagi dijumpai pepohonan rindang, kanak-kanak bermain di halaman, suara lenguh sapi atau angsa. Musik tradisi menemani malam. Kampung telah berubah pesat. Dinding beton, rumah-rumah di atas sawah. Orang-orang tergesa-gesa dengan urusannya.

Leni melalui Kau menjadi pangling pada kampungnya. Seperti dalam larik/ Apa ini kampungmu?/ Atau hanya kenangan yang salah membaca peta?

Para pengusaha membawa uang ke kampung, lalu mereka menggembol kayu-kayu ke kota. Uang di kampung menjadi pekebunan, berbondong-bondong orang ke sana. Kampung menjadi ramai, berubah seperti kota.

Sehingga tak ada bulan menggantung di atas sawah.Kampung hanya kenangan tak dapat diulang. Ia hanya hidup di mimpi. Kenangan masa lalu cuma memori.

Malam di Kampung, sesungguhnya puisi keprihatinan Leni Marlina pada deforestasi yang terjadi sehingga berdampak pada bencana lingkungan yang melanda daerahnya.

Sukadana, 24 Januari 2025