Puisi Esai L K Ara
HATIPENA.COM – Di lantai kayu Rumah Didong Gayo,
terbentang selembar tikar anyaman—
bukan sekadar alas,
melainkan panggung hening
bagi para pemain Didong yang duduk bersila,
menyulam syair dalam gemuruh ceh.
Tikar itu telah menyimpan banyak malam,
menyaksikan suara bertarung dengan kata,
sebagai arena sunyi tempat irama dilahirkan
dari dada yang penuh sejarah.
Warna-warnanya bersuara sendiri:
magenta seperti bara semangat yang tak padam,
toska adalah teduh dataran tinggi,
dan garis zigzag itu—panah arah dan siasat—
bukan motif sembarangan,
tapi jejak irama yang pernah dibenturkan
oleh tangan-tangan Gayo yang setia menjaga.
Di tikar itulah mereka duduk rapat,
kepala tegak, mata saling menantang,
bibir menabur sajak,
tangan menabuh ceh seirama degup hati.
Di atas tikar itu,
kata menjadi senjata,
dan adat menjelma lantunan.
Tikar itu telah mendengar segalanya:
tentang cinta dan kehilangan,
tentang kampung yang dirambah lupa,
tentang pemuda yang pulang
membawa sya’ir sebagai bekal.
Ia bukan selembar tikar biasa.
Ia adalah naskah tak tertulis
dari sebuah pertunjukan jiwa,
di mana para penembang
meninggalkan sebagian ruhnya
di antara anyaman warna
dan simpul-simpul rindu. (*)
Catatan Kaki:
1. Didong adalah seni tradisi khas Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues) berupa pertunjukan syair yang dilantunkan secara berbalas dalam irama dan ceh (tepukan tangan) yang khas.
2. Tikar anyaman adalah elemen penting dalam pertunjukan Didong; di atas tikar inilah para pemain duduk bersila, menghadap lawan, dan menyampaikan syair mereka.
3. Motif zigzag dan warna cerah dalam tikar tidak hanya sebagai hiasan visual, melainkan juga simbol perjalanan, emosi, dan keseimbangan hidup.