Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jateng)
HATIPENA.COM – Video siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 078481 Uluna’ai Hiligo’o Laowo Hilimbaruzo di Dusun III Desa Laowo Hilimbaruzo, Kecamatan Idanogawo, Kabupaten Nias, Sumatera Utara, curhat tidak ada guru mengajar selama sebulan viral di media sosial. [1]
Di pelosok Nias, di ujung jalan berbatu,
Ada sekolah berdiri, di bawah langit kelabu.
Tiga ruang kelas, satu tanpa pintu,
Namun di sanalah mimpi anak-anak bertaut satu per satu.
Di balik papan tulis yang lapuk,
Kasiman berdiri tegap tanpa ragu.
“Anak-anakku, kita belajar meski sederhana,
Karena ilmu adalah jembatan menuju surga dunia.”
Namun, di luar kelas, kehidupan guru penuh rintangan,
Dua jam perjalanan, menembus hujan dan terik mentari.
Jalan berbatu, lumpur licin, dan duri belantara,
Semua mereka lewati dengan niat mulia.
“Pak, kenapa Bapak selalu datang terlambat?”
Tanya seorang bocah, matanya penuh ingin tahu.
“Nak, perjalanan ini tak mudah,
Tapi percayalah, ilmu takkan berhenti aku bawa.”
Anak-anak kecil itu, dengan kaki telanjang,
Berlari ke sekolah, meninggalkan ladang.
Di antara rimbun pohon dan kicauan burung,
Mereka bermimpi menjadi pemimpin di kemudian hari.
Malam itu, di sebuah pertemuan kecil,
Para guru berkumpul di bawah sinar lampu minyak.
“Apa yang bisa kita lakukan? Kita kekurangan segalanya.”
“Namun, kita punya semangat. Itu yang harus dijaga.”
“Pak Kasiman, apa yang bisa kita harapkan?
Jalanan ini tak kunjung dibangun,
Dan rumah dinas hanyalah bayangan.”
“Kita terus mengajar, meski peluh bercucuran.
Karena kita adalah jantung pendidikan.”
Di luar, angin malam membelai pepohonan,
Sementara diskusi terus berlangsung dengan penuh beban.
Mereka tahu, perjuangan ini panjang,
Namun harapan anak-anaklah yang membuat mereka terus berdendang.
Pagi itu, perjalanan dimulai seperti biasa,
Dua jam berjalan, melewati jalan setapak penuh cerita.
Pak Kasiman membawa tumpukan buku,
“Ini tugas kita,” gumamnya dalam hati yang teguh.
Seorang warga desa menegur,
“Kenapa kalian terus saja mengajar?
Bukankah lebih baik menyerah saja?”
“Karena kami percaya, pendidikan adalah kunci,
Untuk membuka pintu kemakmuran di masa nanti.”
Anak-anak menunggu dengan riang,
Mereka tahu, guru adalah cahaya di jalan yang panjang.
“Pak, ajari kami tentang dunia,” pinta seorang murid.
“Baik, Nak, mari kita belajar, agar mimpi tak lagi terjepit.”
Di ruang kelas tanpa jendela, pelajaran dimulai,
Tentang angka, huruf, dan cerita dunia lain.
Di sudut, ada bocah yang menggambar peta,
“Bapak, aku ingin jadi insinyur, membangun jembatan kita.”
Ironi pendidikan di negeri yang kaya,
Di sudut Nias, cerita ini nyata.
Guru berjuang, murid berharap,
Namun infrastruktur seolah lenyap.
“Pak Kasiman, kapan jalan ini akan berubah?”
“Aku tak tahu, Nak, tapi kita harus terus melangkah.
Suatu saat nanti, orang-orang akan melihat kita,
Dan mereka akan tahu, perjuangan ini bukan sia-sia.”
Malam itu, Kasiman menulis surat,
Untuk pemimpin daerah, agar hatinya tersentuh hangat.
“Pak, di sini kami butuh dukungan,
Jalan, fasilitas, dan sedikit perhatian.”
Hari berganti, surat itu sampai di meja kekuasaan,
Namun jawaban yang datang hanyalah angin kosong,
“Kami akan mengusahakan,”
Sebuah janji yang terdengar seperti angan-angan.
Namun, Kasiman tak menyerah,
Karena ia percaya pada mimpi anak-anak Nias.
“Mereka adalah penerus bangsa,
Dan tugas kita adalah menjaga harapan mereka tetap menyala.”
“Pak, apakah kita akan terus seperti ini?”
Tanya seorang guru muda dengan tatapan letih.
“Mungkin tidak, mungkin ya,
Tapi tugas kita adalah melangkah tanpa menyerah.”
Dan di pelosok Nias yang sunyi,
Langkah-langkah mereka terus berbunyi.
Mengabarkan kepada dunia,
Bahwa pendidikan adalah hak semua manusia.
Rumah Kayu Cepu, 19 Januari 2015
Catatan:
[1] Puisi esai ini terinspirasi dari “Ironi SD Nias, Guru Tak Mengajar Ternyata karena Jalan Kaki 2 Jam” yang diterbitkan oleh CNN Indonesia pada 19 Januari 2025.