HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Di Balik Otak Obama

October 13, 2025 13:45
IMG-20251013-WA0029

Oleh ReO Fiksiwan

Gaya kepemimpinan Obama berakar pada kemampuannya untuk mendengarkan dengan saksama, mensintesis beragam sudut pandang, dan merespons dengan jelas dan tenang. Ia bukan orang yang impulsif, melainkan orang yang penuh refleksi.” — Sasha Abramsky (53), Inside Obama’s Brain (2009).

HATIPENA.COM – Dalam gelombang politik global yang terus bergelora dan berubah, Presiden Amerika Serikat (2004-2012) Barack Obama (64) tetap menjadi sosok yang aktif dalam membina generasi pemimpin masa depan melalui Obama Foundation.

Baru-baru ini, ia membagikan refleksi penting melalui akunnya X (dulu, Twitter), menyoroti perbincangannya dengan tiga alumni foundation yang tengah memperkuat demokrasi di Hongaria dan Polandia.

“Baru-baru ini saya berbincang dengan tiga pemimpin yang tergabung dalam jaringan alumni @ObamaFoundation untuk mendengar lebih lanjut tentang upaya mereka dalam memperkuat demokrasi di Hongaria dan Polandia. Mereka adalah contoh bagi kita semua,” tulisnya.

Obama menyertakan tautan ke situs resmi Obama Foundation yang menampilkan kisah para pemimpin muda yang berjuang melawan arus populisme dan otoritarianisme di Eropa Timur.

Mereka bukan hanya aktivis, tetapi juga inovator sosial, pendidik, dan penggerak komunitas yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan keadilan.

Di tengah tantangan serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi seperti pembatasan kebebasan pers dan tekanan terhadap lembaga-lembaga independen, para alumni Obama Foundation hadir sebagai suara alternatif yang mendorong partisipasi warga, dialog lintas kelompok, dan reformasi kebijakan.

Istilah “Obama’s Brain” dalam konteks ini bukan hanya merujuk pada kecerdasan dan strategi politik sang mantan presiden, tetapi juga pada warisan intelektual dan moral yang ia tanamkan melalui para pemimpin muda yang dibina oleh Obama Foundation.

Mereka adalah perpanjangan dari visi Obama tentang dunia yang lebih adil, inklusif, dan demokratis—sebuah visi yang telah ia uraikan dalam buku The Audacity of Hope (2006), di mana ia menulis, “Democracy demands that the religiously motivated translate their concerns into universal values.”

Selain itu, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat paling fenomenal dalam sejarah Pilpres AS, dikenal bukan hanya karena kecerdasan politiknya, tetapi juga karena kemampuannya untuk meninggalkan kekuasaan dengan elegan.

Obama memilih untuk menjadi mentor, bukan manajer kekuasaan. Ia membangun platform pembelajaran, bukan panggung pengaruh politik.

Sementara itu, sebagian mantan pemimpin Indonesia tampak masih ingin menjadi pusat gravitasi politik, bahkan ketika konstitusi dan waktu telah mengakhiri masa jabatannya.

Ini menimbulkan ketegangan di ruang publik, memperpanjang polarisasi, dan mengaburkan batas antara legacy dan ambisi.

Obama menunjukkan bahwa keberanian sejati adalah melepaskan, bukan menggenggam. Ia tidak membangun dinasti, tetapi membangun jaringan kepemimpinan yang inklusif. Ia tidak mengulang masa lalu, tetapi menyiapkan masa depan.

Dalam konteks ini, di balik Otak Obama bukan hanya tentang kecerdasan, tetapi tentang kebijaksanaan untuk tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam.

Sebuah pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah memegang kekuasaan: bahwa warisan terbaik bukanlah pengaruh yang terus dipaksakan, tetapi jejak yang menginspirasi.

Mengacu The Audacity of Hope (2006), Obama menulis, “Ujian kemajuan kita bukanlah apakah kita menambah kelimpahan bagi mereka yang memiliki banyak; tetapi apakah kita menyediakan cukup bagi mereka yang memiliki sedikit.”

Lebih jauh ia katakan, “Saya teringat bahwa ujian kepemimpinan yang sesungguhnya bukanlah seberapa keras Anda berbicara, tetapi seberapa dalam Anda mendengarkan.”

Ungkapan ini mencerminkan bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang mempertahankan panggung, tetapi tentang memberi ruang bagi generasi berikutnya untuk tumbuh.

Obama memilih untuk menjadi mentor, bukan manajer kekuasaan. Ia membangun platform pembelajaran, bukan panggung pengaruh politik.

Sementara itu, sebagian mantan pemimpin Indonesia tampak masih ingin menjadi pusat gravitasi politik, bahkan ketika konstitusi dan waktu telah mengakhiri masa jabatannya.

Ini menimbulkan ketegangan dan kemaruk di ruang publik, memperpanjang polarisasi, dan mengaburkan batas antara legacy dan ambisi.

Kontras dengan itu, dalam dinamika demokrasi prosedural politik Indonesia, kita menyaksikan fenomena berbeda: beberapa mantan pemimpin yang telah turun dari kekuasaan tetap aktif mengusik panggung kekuasaan yang telah mereka tinggalkan.

Mereka hadir dalam wacana publik, kadang dengan narasi nostalgia, kadang dengan modus cawe-cawe, dan tak jarang dengan manuver politik yang membingungkan. Bagi sebagian pendukung, ini adalah bentuk keberlanjutan visi yang telah aus.

Bagi yang bukan pendukung, ini dianggap sebagai bayang-bayang kekuasaan yang enggan pergi. Obama menunjukkan bahwa keberanian sejati adalah melepaskan, bukan menggenggam.

Ia tidak membangun dinasti, tetapi membangun jaringan kepemimpinan yang inklusif. Ia tidak mengulang masa lalu, tetapi menyiapkan masa depan.

Gagasan ini berpadu dengan refleksi pribadinya dalam Dreams from My Father (1995), yang menggambarkan perjalanan batin dan sosialnya dalam memahami identitas, keadilan, dan tanggung jawab publik.

Kisah-kisah alumni ini menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi dari akar rumput yang digerakkan oleh semangat, keberanian, dan solidaritas.

Obama Foundation menjadi wadah yang menghubungkan pemimpin dari berbagai belahan dunia untuk saling belajar dan bertumbuh, meneruskan denyut etika dan harapan yang telah lama menjadi inti dari pemikiran Obama. (*)

#coversongs: “Killer Queen” adalah lagu ikonik dari band rock Inggris Queen, ditulis oleh Freddie Mercury dan dirilis pada 11 Oktober 1974 sebagai bagian dari album Sheer Heart Attack.

Lagu ini menggambarkan sosok seorang wanita panggilan kelas atas yang glamor, cerdas, dan mematikan secara sosial. Ia digambarkan sebagai wanita yang bisa “membutakan siapa saja” dengan pesonanya, namun juga memiliki kekuatan untuk mengendalikan dan menghancurkan pria yang tergoda olehnya.

Freddie Mercury (1946-1991) menyatakan bahwa lagu ini adalah tentang kontras antara kemewahan dan bahaya, serta kekuatan feminin yang bisa memikat sekaligus menguasai.

Ia juga menyebut bahwa interpretasi lagu ini bisa sangat bebas, tergantung pada pendengar. (*)

Berita Terkait

Hening, Diam, dan Sunyi

November 11, 2025

Sepupu

November 11, 2025

Makna Pahlawan

November 11, 2025

Ziarah Pagi ke Jantung Peradaban Nusantara

November 11, 2025

Penyair Kepo

November 11, 2025

Berita Terbaru

Hening, Diam, dan Sunyi

November 11, 2025

Sepupu

November 11, 2025

Makna Pahlawan

November 11, 2025

Ziarah Pagi ke Jantung Peradaban Nusantara

November 11, 2025

Penyair Kepo

November 11, 2025