Oleh: Nurul Jannah | Penulis
Ketika Langit Masih Gelap, Cinta Sudah Berangkat
HATIPENA.COM – Masih pukul lima pagi di Bogor, saat embun menggigil di ujung daun dan kabut menelusup di antara pepohonan. Kota ini belum sepenuhnya sadar, namun langkahku telah lebih dulu terjaga, mengejar cahaya yang akan menuntun kami ke bumi jauh di timur, di mana tambang dan harapan bersentuhan.
“Bu Nurul, siap berangkat?”
Senyum sopir kampus menyapa dari balik kemudi.
Aku menarik napas panjang. “Bismillah… semoga setiap kilometer yang kita tempuh menjadi doa bagi bumi dan anak-anaknya.”
Pagi itu kami berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta, bersama tim tangguh, Dr. Irdika Mansur, Dr. Edi, Dr. Fitri, Prof. Iskandar, dan tim Prima Kelola IPB. Tujuan kami pagi itu adalah Audit Pengendalian Kerusakan Lahan dan Reklamasi Tambang PT Vale Indonesia. Namun jauh di balik misi teknis itu, kami tahu, ini adalah perjalanan cinta antara manusia dan bumi.
Langit Makassar: Laut, Cahaya, dan Janji
Pesawat melesat menembus awan. Dari balik jendela, lautan Sulawesi berkilau seperti cermin surga, menyimpan rahasia perjuangan para anak negeri.
Awan-awan menggumpal putih, seolah melambai, mengiringi langkah kami yang tak hanya datang membawa laporan, tapi membawa harapan agar bumi kembali bernafas.
Sesampainya di Bandara Sultan Hasanuddin, udara hangat menyambut dengan aroma asin laut dan logat Bugis yang bersahabat.
“Langsung lanjut penerbangan ke Palopo, Bu,” ujar Pak Lutpi, sang koordinator perjalanan.
Aku mengangguk, “Perjalanan hari ini panjang, tapi perjalanan yang panjang selalu melahirkan makna.”
Sebelum melanjutkan, kami sempat singgah mengisi tenaga. Pesawat kecil berpenumpang belasan orang menanti di landasan, seperti burung kecil yang setia mengantar para pejuang. Langit siang mulai berubah keemasan, dan aku tahu: senja akan menjelang dan akan menjadi teman setia kami hingga malam menjelang.
Senja yang Tumpah di Palopo
Roda pesawat menyentuh landasan Bandara Lagaligo, Palopo. Langit oranye merona seperti lukisan doa. Di bawah sana, hamparan sawah berkilau disapu cahaya terakhir hari. “Masya Allah, indah sekali,” ucapku lirih.
Prof. Iskandar menimpali, “Tapi perjalanan kita masih panjang, Bu Nurul. Lima sampai enam jam lagi menuju Soroako.”
Aku tersenyum, “Tak apa, Prof. Kadang, perjalanan paling berharga justru dimulai saat senja berakhir.”
Mobil double cabin menjemput kami, menembus pegunungan dan hutan yang perlahan menua bersama malam. Di setiap tikungan gelap, ada rasa syukur yang menyalakan semangat. Kami tahu, setiap jalanan berliku adalah bentuk ujian kesungguhan.
Masamba: Sepiring Hangat di Tengah Dinginnya Perjalanan
Tiga jam berlalu. Kami tiba di Masamba, kota kecil yang menggantungkan hidupnya pada laut dan kesederhanaan. Sebuah papan kayu bertuliskan “Seafood Masamba: Rasa dari Laut Sendiri” menyambut kami di pinggir jalan.
Sup kepala ikan kerapu, mie titi seafood, cumi goreng tepung, dan sambal mangga muda terhidang di meja kayu sederhana. “Ini bukan hanya makan malam biasa, tapi perayaan kecil atas langkah yang tak kenal lelah,” kataku sambil tertawa kecil.
Gerimis turun lembut di luar, lampu jalan menari di genangan air, menciptakan kilau keemasan seperti doa yang jatuh perlahan dari langit. Kami kembali ke jalan, dengan hati yang hangat dan semangat yang menyala lagi.
Di Ujung Hari, Menyentuh Soroako
Mobil terus melaju di tengah hening pegunungan. Suara jangkrik bersahutan dengan desir sungai di kejauhan. Bintang-bintang bergelayut rendah di langit, seolah menuntun kami menuju bumi yang akan disembuhkan.
“Masih jauh, Pak?” tanya Dr. Fitri dengan suara pelan.
“Sedikit lagi, Bu,” jawab sopir sambil tersenyum.
“Kalau lancar, Insya Allah jam sebelas kita sudah tiba.”
Dan benar, tepat pukul 23.00 WITA, kami sampai di Soroako. Kota kecil yang memeluk Danau Matano dengan tenang. Hanya suara serangga dan angin malam yang menjadi musik penyambut. Namun di dada kami, ada irama yang lebih dahsyat: irama syukur dan pengabdian.
Aku menatap langit yang masih berpendar. “Terima kasih, ya Allah, kami tiba di ujung malam, untuk memulai cahaya baru di esok hari.”
Cinta yang Menguatkan
Perjalanan rute Bogor-Jakarta-Makassar-Palopo-Soroako; bukan semata perpindahan tempat, tapi ziarah hati. Sebuah perjalanan untuk membuktikan, bahwa cinta sejati pada negeri tak diukur dari waktu atau jarak, melainkan dari kesediaan untuk terus berjalan, bahkan saat seluruh tubuh meminta berhenti.
Audit reklamasi tambang bukan hanya kerja teknis semata, ia adalah kerja nurani. Kami datang bukan membawa penghakiman, tapi membawa harapan. Bahwa tanah yang digali bisa kembali hijau, bahwa air yang keruh bisa jernih lagi, dan manusia dapat berdamai dengan alam, di bawah langit yang sama.
Dan malam itu, di ujung perjalanan panjang, aku mengerti satu hal yang paling hakiki.
Mencintai negeri ini berarti siap berjalan sejauh apa pun, bahkan hingga ke ujung malam sekalipun, karena cinta sejati selalu tahu jalan pulang: menuju pengabdian. (*)
Bumi Allah, 28 Oktober 2025