Oleh : Eka Teresia
HATIPENA.COM – Tanpa kita sadari, dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, seringkali kita terjebak dalam lingkaran dosa-dosa kecil yang luput dari perhatian. Bukan dosa besar yang mengguncang dunia, melainkan percikan-percikan kecil yang mengikis kepercayaan dan menimbulkan prasangka di hati sesama. Salah satunya, begitu sederhana namun berpotensi melukai: tidak membalas pesan WhatsApp padahal kita sudah membacanya.
Makna Centang Biru dan Notifikasi Tanpa Balasan
Sebuah centang biru yang muncul di layar pengirim menjadi saksi bisu bahwa pesan telah terbaca. Namun, sepi tak ada balasan. Bagi sebagian orang, mungkin ini sekadar kelalaian, kesibukan yang mendera, atau sekadar lupa. Namun, bagi yang lain, ketiadaan respons itu bisa menjadi ladang subur bagi berbagai tafsiran.
“Apa dia marah padaku?”
“Apakah aku mengatakan hal yang salah?”
“Mungkin dia tidak peduli.”
Sederet pertanyaan itu berputar di benak, melahirkan prasangka negatif yang tak jarang berujung pada kekecewaan dan keretakan hubungan. Ini berlaku bahkan jika kita menonaktifkan fitur centang biru. Meskipun pengirim tidak melihat centang biru, mereka tetap tahu pesan sudah terkirim (satu centang abu-abu) dan mungkin sudah diterima (dua centang abu-abu).
Ketiadaan balasan setelah itu masih bisa memicu pertanyaan yang sama: “Mengapa tidak ada respons?”
Dampak Tak Terduga dari Kelalaian Kecil.
Padahal, niat kita mungkin tidak demikian. Kita mungkin memang sedang sangat sibuk, berencana membalas nanti, atau bahkan berpikir pesan itu tidak memerlukan balasan segera. Terkadang, kita membaca pesan dari notifikasi tanpa membuka aplikasi, atau bahkan sengaja membuka pesan tanpa memunculkan centang biru untuk menghindari tekanan langsung membalas.
Namun, di era digital ini, komunikasi telah membentuk ekspektasi. Sebuah balasan singkat, bahkan sekadar “oke” atau emoji, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan hati dan menyingkirkan awan prasangka.
Ayat berikut sering dijadikan dalil tentang pentingnya menjaga hubungan kekerabatan dan berbuat baik kepada sesama, yang secara luas mencakup menjaga silaturahmi:
Q.S. An-Nisa: 36
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهٖ شَيْئًا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ
Artinya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Meskipun ayat ini tidak secara spesifik menyebut “menjawab pesan”, namun anjuran untuk berbuat baik kepada karib kerabat (وَّبِذِى الْقُرْبٰى) dan teman sejawat (وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ) secara implisit mencakup kewajiban untuk merespons dan menjaga komunikasi yang baik, termasuk menjawab pesan atau sapaan dari mereka sebagai bagian dari menjaga silaturahmi dan berbuat baik.
Mari lebih peka, karena kadang, dosa kecil yang tak terlihat bisa meninggalkan luka yang dalam. Membangun komunikasi yang baik adalah investasi berharga dalam menjaga hubungan, bukan begitu? (*)
Padang ,7 Juni 2025