Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Duka yang Harus Ditukar dengan Koin

January 12, 2025 08:37
IMG-20250112-WA0019

Penulis : Ririe Aiko

DI BAWAH tirai mendung Sulawesi,
seorang ayah melangkah dalam sunyi,
menunggang motor tua yang berderit nyeri,
membawa pulang duka paling sunyi.

Jasad kecil terbaring di pangkuan,
tanpa napas, tanpa senyuman,
hanya dingin yang diam di kulitnya,
menjadi saksi cinta tanpa ujungnya.

“Anakku, maafkan ketidakberdayaanku”
gumamnya lirih.
“Tak ada emas, tak ada perak,
hanya cinta yang menuntun perjalanan ini.
Aku lelaki yang kalah dalam dunia
yang menghitung segalanya dengan harga.”

Rumah sakit berdiri megah,
tapi pintunya hanya untuk mereka yang mampu.
“Tak ada ambulans untukmu, wahai orang kecil,
kembalilah dengan caramu sendiri.”
Dan ia kembali,
melawan jarak dengan hati yang hampir mati.

Setiap kilometer adalah doa yang tergurat,
setiap tikungan adalah perih yang teramat.
Burung-burung di pepohonan berhenti bernyanyi,
angin hanya berbisik pelan,
seolah tahu bahwa dunia sedang menusuknya perlahan.

Di sepanjang jalan itu,
hutan-hutan sunyi menjadi saksi,
sungai-sungai berliku menjadi penonton bisu.
Setiap deru roda adalah duka yang ditelan,
setiap guncangan mengukir pedih di ingatan.

“Tidurlah, Nak. Jangan kau risaukan jalan ini.
Ayah akan pulang bersamamu,
meski peluh ini bercampur darah,
meski setiap langkah adalah neraka tanpa api.”

Langit mencatat kisah ini dalam bisu,
dan bumi menyerap air mata yang jatuh satu-satu.
Jasad kecil itu, kini pulang,
dalam pelukan ayah yang tak pernah hilang arah.

Di rumah sederhana itu, ia tiba,
menemui malam yang memeluk duka.
Tanah merah disiapkan dengan tangan bergetar,
mengubur anaknya yang kini menuju Tuhan.

Tak ada karangan bunga, tak ada prosesi megah,
hanya doa yang terbang melintasi sepi.
Anak itu kembali ke pangkuan tanah,
dan ayah duduk di tepi kubur,
memandang gelap yang memeluk segalanya.

Ia menjerit dalam kesunyian:
“Jika keadilan ada di tempat-Mu,
hentikan duka yang ditukar dengan koin.
Jangan biarkan ini terulang pada siapa pun.
Ajarkan dunia untuk mencintai tanpa menghitung

Dan angin membawa bisikan itu,
ke penjuru semesta yang tak pernah tahu.
Sebuah cerita kecil yang terlupakan,
Dari mereka yang mengabaikan kemanusiaan. (*)

Sebuah puisi esai mini yang diangkat dari kisah seorang ayah di Sulawesi Selatan yang terpaksa membawa pulang jasad anaknya sejauh 90 km dengan motor karena tak mampu membayar ambulans

Catatan Kaki:

  1. Detik News
    Artikel: Tak Punya Biaya, Ayah di Sulsel Terpaksa Bawa Jasad Bayinya Pakai Motor
    URL: https://news.detik.com/berita/d-5924129/tak-punya-biaya-ayah-di-sulsel-terpaksa-bawa-jasad-bayinya-pakai-motor
  2. Kompas
    Artikel: Ayah di Sulawesi Selatan Bawa Jasad Bayinya Pulang dengan Motor Karena Tak Ada Ambulans
    URL: https://regional.kompas.com/read/2022/02/01/074312478/ayah-di-sulsel-bawa-jasad-bayinya-pulang-dengan-motor-karena-tak-ada-ambulans
  3. Tribun News
    Artikel: Miris, Ayah di Sulsel Terpaksa Bawa Jasad Anaknya Pulang Pakai Motor Karena Tak Mampu Bayar Ambulans
    URL: https://makassar.tribunnews.com/2022/01/31/miris-ayah-di-sulsel-terpaksa-bawa-jasad-anaknya-pulang-pakai-motor-karena-tak-mampu-bayar-ambulans