Oleh Ririe Aiko
“Kemiskinan tak selalu lahir dari kemalasan, melainkan dari sistem yang memilih untuk menutup mata.”
HATIPENA.COM – Di sudut jalan kota Bandung, saya bertemu seorang kakek tua penjual balon. Ia berdiri tenang, membawa belasan balon warna-warni yang bergoyang pelan ditiup angin sore. Yang menarik perhatian saya bukan hanya sosok rentanya, tapi tulisan di balon yang ia jual: Harga Seikhlasnya.
Kalimat itu sederhana, tapi memuat beban kehidupan yang tak terkatakan. Ada kepasrahan, ada harapan, ada doa yang dibisikkan dalam diam oleh seseorang yang sudah terlalu lama berjalan di jalan hidup yang berat.
Saya membeli beberapa balon, lalu kami berbincang. Kakek itu bercerita dengan suara yang tak lagi lantang, namun penuh keteguhan. Istrinya meninggal dunia karena sakit yang tak pernah tertangani. Biaya berobat tak mampu mereka jangkau, dan akhirnya ia hanya bisa mendampingi sang istri hingga nafas terakhir tanpa rumah sakit dan tanpa pengobatan layak.
Anaknya dua. Satu merantau jauh ke luar pulau, hidup seadanya. Satu lagi telah tiada, juga karena sakit yang tak terobati. Kini, kakek itu sendiri, berdagang balon demi bisa makan hari ini. Keluarganya yang lain tak bisa banyak membantu—bukan karena mereka tak peduli, tapi karena mereka pun berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup.
Saya terdiam. Di hadapan saya bukan sekadar seorang penjual balon, tapi potret nyata dari wajah kemiskinan yang sering kita lihat namun enggan kita selami. Di usia yang seharusnya dinikmati di teras rumah sambil menyesap teh hangat, ia masih harus berjalan menembus debu kota, menggantungkan hidup pada balon-balon kecil di tangan.
Dan ia bukan satu-satunya. Jika kita mau membuka mata lebih lebar, kita akan temukan ribuan—bahkan jutaan—kakek dan nenek lain di penjuru negeri ini yang masih berjibaku mencari nafkah. Bukan karena tak mau beristirahat, tapi karena tak punya pilihan. Mereka bukan menjadi miskin karena tak mau berjuang, melainkan karena sistem menjerat mereka dalam ketidakmerataan yang tak kunjung usai.
Kita hidup di negara yang katanya kaya sumber daya, namun kenyataannya terlalu banyak warganya yang hidup dalam kekurangan. Pendidikan tinggi tidak lagi jaminan kesuksesan, dan kesehatan pun menjadi kemewahan yang sulit dijangkau. Sementara itu, di sisi lain, para elite pejabat menikmati masa tua mereka dengan segala fasilitas, duduk nyaman di kursi empuk, hidup dalam kemewahan yang nyaris tak tersentuh realita rakyatnya.
Lalu, jika kesenjangan sosial sudah sedemikian menganga, siapa yang layak disalahkan? Lagi-lagi, mereka yang hidup dalam kekurangan diminta bersabar. Lagi-lagi, orang susah harus menelan pahitnya hidup seolah itu takdir yang tak bisa digugat.
Kadang, dunia memang tidak ramah pada mereka yang terpinggirkan. Mereka yang terjerat dalam lingkaran kemiskinan kerap kali tak punya jalan keluar, seolah hidupnya hanya berputar dalam labirin yang tak berujung.
Namun kita masih memiliki pilihan. Kita bisa terus menjadi bagian dari dunia yang tak peduli, atau mulai menciptakan ruang kecil dalam diri untuk peduli. Sebab, kadang hal paling manusiawi yang bisa kita lakukan adalah duduk sejenak dan berusaha menjadi pendengar yang baik. (*)