Yudi Latif
HATIPENA.COM – Saudaraku, hidup ini bagai taman yang disapu angin musim gugur. Langitnya kadang biru bening, kadang mendung berbalut sendu. Daun-daun waktu berguguran perlahan, seakan bumi sedang berdoa. Sehat dan sakit—dua musim jiwa yang disela musim gugur: ruang peralihan tempat kita belajar melepaskan, menyadari betapa rapuh dan indahnya hidup.
Ketika sehat datang, dunia terasa lapang. Kita menari di bawah cahaya, menyulam mimpi di cabang-cabang harapan, mengira musim akan selalu hijau. Dalam sehat, tangan-tangan kita menjadi mata air: mengalirkan karya, menghidupkan kasih, menorehkan warna di kanvas ciptaan-Nya.
Namun, sakit datang seperti angin dingin dari utara, menggetarkan ranting, menggugurkan daun. Cahaya meredup, dunia mengecil menjadi detak dan napas. Kita duduk di beranda jiwa, menatap gugur yang tak terelakkan, dan bertanya dalam hening: untuk apa semua riuh yang dulu kita kejar?
Apa arti nama bila tubuh tak lagi menegakkannya? Apa guna mahkota bila kepala tak lagi kuat menanggungnya?
Sakit adalah musim gugur batin—saat kehidupan menanggalkan daunnya agar akar kembali meneguk makna. Ia guru sunyi yang sabar mengajari kepasrahan. Dalam sakit, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan pada berlari, tapi pada berhenti dan mengerti.
Dan bila sembuh tak kunjung tiba, mungkin itu undangan lembut menuju musim abadi—tempat jiwa beristirahat dari gemuruh dunia, seperti daun yang akhirnya tenang di pangkuan tanah.
Sungguh, hidup ini laksana embun di ujung daun: jernih, ringkih, dan sebentar. Namun bila ia jatuh dengan tulus, ia menyuburkan bumi, menumbuhkan hutan yang kelak menjadi teduh bagi generasi mendatang.
Hidup ini memang sebentar, namun kehidupan—lahir dari kasih, kerja jujur, dan luka yang diterima dengan lapang—dapat berakar dalam tanah zaman. Janganlah demi kenikmatan sesaat kita menebang pohon-pohon makna yang tumbuh dari akar nilai dan pengorbanan.
Sebab pada akhirnya, yang dicatat langit bukan panjang umur, melainkan dalamnya jejak yang kita tinggalkan—seperti daun yang gugur dengan tenang, namun menghidupi tanah yang abadi. (*)