(Drama Tour de IGD)
Oleh: Kol (Purn) dr Farhaan Abd, Sp. THT – KL
HATIPENA.COM – Subuh tertelan lampu putih,
dan di leher seorang suami
tumbuh sebutir takdir—
kelenjar yang mengetuk pintu Tuhan
dengan napas terakhir manusia.
Istrinya mengusap minyak dan doa,
namun cinta tak mampu menunda prosedur.
Dari Hermina ke Yos Sudarso,
dari Djamil ke Ibnu Sina,
hingga RSUD—
ia berkeliling lima altar kematian,
membawa tubuh yang menunggu izin hidup
dari mesin administrasi.
Di setiap meja, ada pertanyaan:
“Umum apa BPJS, bu?”
Padahal yang sesak bukan dompet,
melainkan paru-paru yang memohon udara.
Dan rujukan— selembar kertas suci—
lebih berharga dari darah yang menetes
di ujung waktu.
Ketika akhirnya oksigen menjadi saksi,
dan detak menurun seperti bendera separuh tiang,
dokter berkata: “Allah berkehendak lain.”
Namun semua orang tahu:
yang lambat bukan Tuhan,
melainkan manusia yang terlalu pandai menunda.
Kini ia tidur di pangkuan doa,
di kota yang menunduk pada malam.
Facebook menjadi makam sunyi,
dan status terakhirnya adalah elegi republik—
tentang cinta yang kalah oleh sistem,
dan kematian yang harus mengantre tanda tangan.
Wahai Padang,
di bawah langitmu yang penuh lampu rumah sakit,
ingatlah:
ada seorang jurnalis
yang wafat bukan karena ajal,
tetapi karena kemanusiaan
terlambat datang menyelamatkan napasnya. (*)
Padang, 2025