Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Di bawah langit kelabu Washington, seorang pria berdiri menatap Gedung Putih untuk terakhir kalinya sebagai bagian dari sistem yang pernah ia percayai.
Tangannya menggenggam ponsel. Ia menulis satu kalimat pendek di platform X: “Waktu yang dijadwalkan sebagai pejabat pemerintah telah selesai.”
Tapi dunia tahu, ini lebih dari sekadar akhir kontrak. Ini adalah akhir dari sebuah keyakinan.
Merenungkan dinamika Elon Musk yang bergabung, mengguncangkan, tapi akhirnya pergi dari Donald Trump, (1) kita merenungkan hubungan antara bisnis dan politik. Antara konglomerat dan presiden.
-000-
Namanya Elon Musk. Visioner, pengganggu tatanan lama, dan bagi banyak orang, simbol dari masa depan yang sedang datang.
Ia tak lahir dari dunia politik, melainkan dari dunia sains, industri, dan mimpi. Saat ia bergabung dengan pemerintahan Donald Trump, banyak yang bertanya: “Mengapa?”
Jawabannya: harapan. Musk ingin menjadi katalisator reformasi. Ia percaya sistem yang lamban bisa dipercepat.
Ia melihat DOGE—Departemen Efisiensi Pemerintah—sebagai ruang untuk membuktikan bahwa birokrasi bisa dirampingkan, dan bahwa masa depan bisa dibangun dari dalam negara.
Tahun-tahun awalnya penuh energi. Ia hadir di ruang rapat Gedung Putih dengan rencana digitalisasi sistem, penghematan anggaran, dan simplifikasi prosedur.
Ia ingin pemerintahan bekerja secepat roket SpaceX. Dan untuk sesaat, tampaknya semua mungkin.
Pada sebuah konferensi ekonomi global, Elon Musk membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia secara terbuka menyarankan agar USAID—lembaga bantuan pembangunan internasional Amerika Serikat—dibubarkan.
Menurutnya, lembaga seperti itu lebih banyak menciptakan ketergantungan daripada solusi. “Bantuan luar negeri sudah usang,” kata Musk. “Apa yang dibutuhkan dunia bukan kedermawanan, tapi inovasi.”
Pernyataan itu dengan cepat memicu gelombang reaksi. Salah satu suara paling tajam datang dari Bill Gates, mantan CEO Microsoft yang kini sepenuhnya mendedikasikan hidupnya pada filantropi.
Gates tidak menyebut Musk secara langsung, tetapi menyampaikan kritik yang jelas: “Beberapa orang kaya berpikir dunia bisa diselamatkan dengan algoritma. Tapi anak-anak yang kelaparan tak bisa makan ambisi.”
-000-
Namun, perlahan mimpi Elon Musk di Gedung Putih itu terkikis. Retakan pertama muncul ketika Trump meloloskan “One Big Beautiful Bill”—RUU pengeluaran besar-besaran yang justru menambah defisit.
Dalam wawancara emosional dengan CBS News, Musk berkata lirih, “Saya kecewa. Ini menghapus kerja kami selama ini.”
Yang membuat luka itu makin dalam adalah kebijakan tarif Trump terhadap Cina. Musk memperingatkan: ini akan menghancurkan rantai pasok global, menaikkan harga produksi, dan menekan daya saing industri dalam negeri.
Tapi Trump lebih memilih mendengar penasihat ekonomi lain.
Tarif itu naik tinggi sekali. Tesla, dengan basis produksi dan distribusi globalnya, merugi. Dalam dua kuartal, kehilangan potensial pendapatan Tesla sempat mencapai lebih dari $3,2 miliar. Industri mobil listrik yang digadang-gadang sebagai penyelamat iklim pun limbung. (2)
Pada suatu senja, Musk berjalan menyusuri Taman Nasional Mall. Di kejauhan, terdengar suara demo kecil: puluhan buruh pabrik baterai yang di-PHK akibat kebijakan tarif.
Seorang ibu mengangkat plakat bertuliskan ‘Anak saya butuh makan, bukan algoritma.’ Musk terdiam. Untuk pertama kalinya, angka-angka di spreadsheet berubah menjadi wajah-wajah manusia.
Efisiensi yang ia agungkan tiba-tiba terasa dingin di tengah hembusan April yang mulai menghangat.”
Musk akhirnya menyerah. Bukan karena lelah, tapi karena merasa sistem tak lagi bisa diajak berdialog. Ia keluar.
Diam. Tegas. Tanpa drama. Tapi publik membaca isyarat itu: perpisahan ini bukan soal jabatan. Ini soal prinsip.
-000-
Kisah ini menyisakan pertanyaan mendalam. Apa risiko jika pengusaha besar menjadi bagian dari pemerintahan?
Pertama, visi pengusaha sering kali bertabrakan dengan logika politik. Pengusaha hidup dalam dunia efisiensi dan keputusan cepat. Politik hidup dalam ruang kompromi, tekanan partai, dan hasrat untuk terpilih kembali.
Kedua, keberadaan pengusaha dalam sistem bisa memicu konflik kepentingan. Ketika kebijakan berdampak langsung pada bisnisnya, niat baik pun akan dicurigai.
Seberapa jernih keputusan bisa diambil ketika laba dan negara saling bersinggungan?
Namun, risiko itu mungkin berubah ketika sang pengusaha bukan lagi penasihat—melainkan presiden.
Di posisi itu, ia bisa menguji apakah visi bisnis bisa menjelma menjadi visi negara. Apakah keberanian mencipta roket juga bisa mencipta keadilan?
Sejarah menyimpan banyak tokoh yang melangkah dari dunia usaha ke kursi kekuasaan. Beberapa gagal. Beberapa mengubah dunia.
Contoh pengusaha yang sukses di pemerintahan: Michael Bloomberg (Walikota New York), Sebastián Piñera (Presiden Chile).
Contoh yang gagal:
Thaksin Shinawatra (Thailand, digulingkan), Ricardo Martinelli (Panama, dipenjara).
Elon Musk sudah mencoba dari dalam sistem. Ia keluar bukan karena kalah. Tapi karena ia sadar: masa depan tak bisa dilahirkan di dalam ruang yang menolak untuk berubah.
Dan mungkin, dari kejauhan, ia sedang merancang bukan hanya mobil tanpa supir atau koloni di Mars—melainkan fondasi baru bagi sebuah peradaban.
Bukan dari ruang oval. Tapi dari tempat yang lebih tinggi. Dan bagi Elon Musk, nampaknya tempat yang lebih tinggi itu, saat ini, bukan Gedung Putih.
Satu hal Elon Musk pelajari dari politik. Negara tidak dibangun hanya dengan kecerdasan, tapi juga dengan empati dan kesadaran. Kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik.
Seorang pengusaha yang baik tahu cara menghitung laba. Tapi pemimpin negara yang baik tahu cara mengukur derita rakyat. Yang satu bicara pasar. Yang lain bicara makna.
Dan dalam dunia yang penuh badai, hanya pemimpin yang bisa mendengar bisikan nurani bangsanya yang akan bertahan. Dunia butuh lebih dari sekadar manajer. Dunia butuh negarawan.
Begitulah perbedaan antara mereka yang berhasil dan mereka yang tumbang.***
Jakarta, 29 Mei 2025.
Catatan Kaki:
1. Elon Musk mengundurkan diri dari pemerintahan Donald Trump.
Elon Musk is leaving his role in the Trump administration – The Washington Post
2. Kebijakan tarif 25% yang diberlakukan oleh Presiden Trump terhadap mobil buatan luar negeri berdampak signifikan pada Tesla.
Elon Musk says Tesla not immune from tariffs as car firms hit
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World