Jonminofri Nazir
bau amis darah dan bangkai yang berserakan
masih setia mewarnai hikayat negeriku
Jari-jari pendek dan gemuk dengan kuku yang dekil
akibat menggerayangi tubuh Ibuku
Memang kau masih mencoba mereka-reka ulang
dan menyusun kisah hidupku
Tanpa sekalipun bertanya, ‘hidup seperti apa yang kuinginkan?
Pernyataan sikap Esther di puisi berjudul “Sejarah yang Gelap” kuat sekali. Dia telah menyaksikan darah yang tumpah di tanah Papua. Banyak sekali.
Orang luar Papua datang, merampas tanah mereka, dan menyedot emas mereka dengan rakus, dan Papua menjadi berdarah-darah. Lalu mereka menuliskan sejarah Papua versi mereka. Membawa Papua ke arah yang sesuai dengan keinginan mereka, tanpa bertanya kepada warga Papua.
Esther memprotes. Dia mewakili warga Papua bersuara, mengapa tidak bertanya pada warga Papua: “Hidup seperti apa yang kuinginkan.”
Yang diinginkan Esther tidak muluk-muluk amat. Yaitu tidak ada lagi darah orang Papua yang tumpah. Esther –dan juga orang Papua lainnya, hanya ingin hidup damai. Hidup yang bebas dari rasa takut.
Esther sebagai aktivis bukan hanya bicara. Tapi dia bergerak. Dia memberikan pelayanan kepada umat Kristiani di Papua, terutama di Jayapura dan sekitarnya. Dia juga menjadi pengajar di perguruan tinggi. Dia berusaha berbuat maksimal apa yang bisa dia lakukan. Tanpa bedil. Hanya dengan pena yang dibawanya tiap hari bersama buku tulis.
Esther tampaknya berusaha menerima realitas dan sekaligus berjuang menciptakan rasa aman bagi warga Papua dengan caranya sendiri
Sikap ini diturunkan dari papanya, yang juga seorang guru. Esther ikut pindah ke Makassar sejak usia SD, karena papanya ditugaskan ke sana. Dia sekolah di kota Sulawesi Selatan itu.
Esther balik ke Papua pada usia SMA. Selesai SMA, papanya mengirim Esther ke Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah. Papanya memilihkan jurusan Sastra Inggris. Alasannya: sekarang sudah zaman global, bahasa Inggris menjadi penting untuk berkomunikasi di dunia ini. Visi ayahnya jauh ke depan. Dia melihat aktivitas Esther akan menembus batas-batas negara, apalagi batas-batas Papua.
Sekarang Esther telah menjadi manusia sesuai dengan yang diinginkannya. Dia menerima Indonesia. Tapi menginginkan konflik selesai. Dia juga menyuarakan isu perempuan dan hak asasi manusia di Papua.
Saat ini, Tak hanya bergerak didunia pendidikan, Esther adalah Sekertaris Departemen Perempuan Gereja KINGMI di Tanah Papua. Di samping itu Esther juga percayakan oleh kawan-kawan menjadi Kordinator Forum Feminist Papua (WPFF) yang di deklarasikan pada 28 November 2022 di Jayapura. West Papua Feminist Forum (WPFF) adalah bagian dari Pacific Feminist Forum (PFF). Melalui forum ini, Esther membangun jaringan dan solidaritas dengan gerakan feminis di Kawasan Pasific dan internasional untuk memperjuangkan hak-hak perempuan Papua.
Selain itu, Esther Haluk juga menuangkan suara hatinya melalui bait-bait puisi dan dikumpulkan dalam satu buku berjudul “Nyanyian Sunyi” (terbit 2021)
Esther tidak menduga bahwa bukunya ini menerima penghargaan DermaKata Award, dari Komunitas Kreator Era AI. Hadiah dalam bentuk uang telah dikirimkan sejak Desember 2024. Kemarin 19 Mei, Esther datang ke Jakarta untuk menerima Piagam Penghargaan DermaKata dari Denny JA, penggagas Komunitas Kreator Era AI sekaligus ketua Yayasan Denny JA, yang membiayai kegiatan ini.
“Uangnya sudah habis untuk mencetak buku,” kata perempuan aktivis feminis yang murah tertawa ini.
Dia akan mencetak buku “Nyanyian Sunyi” lagi karena masih banyak memintanya.
Sebagai penulis, Esther tergolong rajin. Dia selalu membawa buku tulis untuk membuat catatan dengan tulisan tangan. Setelah tiba di rumah, tulisan tangan itu akan disalin ke dalam komputer.
Esther juga sudah menulis novel. Sayangnya, filenya pernah hilang terhapus di komputer. Sekarang, dia tengah menuangkan ingatannya terhadap isi novel itu. “Sebentar lagi selesai,” katanya.
Esther telah menulis sejarahnya sendiri melalui aktivisnya juga melalui medium puisi dan novel.
Esther adalah kekayaan Papua yang lebih berharga dari emas di Freeport. Manusia Papua yang lain adalah kekayaan Papua yang tak ternilai harganya.
Di bawah ini bait penutup puisi “Sejarah yang Gelap” milik Esther:
Kini aku tahu siapa diriku!
Percuma bujuk rayumu
Laras senapanmu pun takkan bisa memadamkan tekad di dadaku
Kini telah kuputuskan untuk menggoreskan pena dan menulis kisahku sendiri
karena ternyata selama ini, kau menulis kisah hidupku dengan tinta darah
darahku dan darah sanak saudaraku_
Bersiaplah!!
Tangankulah yang kan menulis jejak hidupku
takkan kuijinkan kau atau siapapun
mengarang kisah hidupku lagi…! (*)