Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Filosofi Duren Lutfi Azizah dan Ojol Muhammadiyah

February 12, 2025 17:56
IMG-20250212-WA0072

Lutfi Azizah (kiri) dan pengemudi Zendo (kanan). (Sumber foto: Tribunmataraman.com/David Yohanes)

Penulis : Akmal Nasery Basral *)

SKEMA
(Sketsa Masyarakat)

Kisah Zendo


HATIPENA.COM – 1/. Di luar wilayah Tulungagung, Jawa Timur, nama Lutfi Azizah praktis tidak dikenal meski usaha layanan berbasis ojek online yang dirintisnya, Zendo, sudah beroperasi satu dasawarsa. Bahkan setelah bekerja sama dengan Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) dan dipromosikan secara masif sejak bulan lalu, Januari 2025, publik lebih sering menyebut Zendo sebagai ‘ojek Muhammadiyah’ ketimbang sebagai rintisan Lutfi.

“Bagi saya tidak masalah Zendo dikenal sebagai ojek Muhammadiyah karena memang setelah bekerja sama dengan SUMU, Zendo bisa beroperasi nasional. Selain itu banyak tokoh, kader dan simpatisan Muhammadiyah yang punya peran dan saham dalam perkembangannya,” ujar sang CEO merendah.

Lutfi sudah dua kali menjadi tamu siniar ( _podcast_)  _Pecah Telur_, kanal YouTube yang mengkhususkan diri pada perjuangan pelaku UMKM. Pertama kali muncul pasca Covid-19 (“Gojek Lokal Wanita! Bagaimana Bertahan di Era Ojek Online”. Kemunculan kedua delapan hari lalu (“Dari Guru TK Gaji 150 ribu/bulan. Kini Punya Jaringan Ojek di Seluruh Indonesia”.

Saya sudah menonton kedua siniar. Perlu digarisbawahi sebagai bentuk penafian ( _disclaimer_ ), bahwa saya tak punya hubungan kerja apapun dengan Zendo dan Lutfi Azizah. Tulisan ini murni sebagai bentuk dukungan saya terhadap UMKM, dan sebagai apresiasi atas kerja keras Lutfi serta kepedulian sosial Muhammadiyah–ormas Islam terkaya di dunia, dengan aset sekitar Rp400 triliun (Juni 2024)–melalui SUMU.

2/
Lutfi lahir dari keluarga sangat sederhana di desa Bago, Tulungagung. Ayahnya buruh, ibunya tak bisa bekerja di luar rumah karena mengurus seorang adik Lutfi yang difabel. Maka saat di bangku pendidikan menengah, Lutfi bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lulus SMA kendati berhasil tembus jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan, sekarang “jalur undangan”), Lutfi tetap tak bisa kuliah. Tak ada dana.

Setelah berbagai pekerjaan serabutan dan sambil, Lutfi mulai merintis karier sebagai guru honorer di TK Aisyiyah Bangau Putih (2006 – 2010) dengan gaji Rp150 ribu per bulan. Kemudian menjadi staf akademik STAI Muhammadiyah selama sepuluh tahun (2009-2019). Di tengah kesibukan itu, dia menjadi tukang ojek. Prioritasnya mengantar anak-anak ke sekolah atau membelikan belanjaan di pasar bagi ibu-ibu yang punya kesulitan waktu belanja sendiri. “Mungkin saya perempuan tukang ojek pertama di Tulungagung,” ungkapnya.

Satu hari ketika masih bekerja di STAI Muhammadiyah, salah seorang dosen akan berangkat ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Lazimnya tradisi di masyarakat, Lutfi mendatangi sang dosen dan menitipkan doa (mengharapkan sang dosen berdoa di depan Ka’bah). Tak dinyana sang dosen menolak. “Sebaiknya kamu sedekah uang. Nanti saya berikan kepada yang berhak di Tanah Suci, tetapi yang berdoa tetap kamu dari Tanah Air,” kenang Lutfi mengulangi pesan sang dosen. Lutfi setuju.

Sebagai seorang perempuan, Lutfi pun berharap mahligai rumah tangganya berjalan sempurna. _Sakinah, mawaddah, wa rahmah_. Apa boleh buat, bahtera rumah tangganya karam dihempas badai samudera kehidupan, meski telah menghasilkan seorang anak lelaki. “Dengan begitu kerasnya kehidupan yang saya alami sejak kecil sampai pernikahan pun _zonk_, membuat saya _mutung_ kepada Tuhan,” ujar Lutfi. Ngambek.

Tak tanggung-tanggung dia sampai dua tahun tidak menjalankan salat sebagai bentuk protes. “Namun belakangan saya baru mengerti hikmahnya, tanpa ada rangkaian ujian hidup itu Zendo tak akan pernah muncul. Mungkin saya akan terus sebagai guru TK atau staf karyawan.”

Singkat cerita setelah usaha ojek yang dijalankannya mulai dikenal masyarakat Tulungagung, semakin banyak permintaan membuat Lutfi kewalahan. Terpikir olehnya untuk mengajak perempuan lainnya sebagai tukang ojek. Maka lahirlah Zendo. “Zen itu dari nama anak lelaki saya, sedangkan do dari _delivery order_. Sesederhana itu,” katanya. Secara resmi beroperasi pada 30 September 2015 dengan _tagline_ “Apa Aja, Di mana Aja”.

“Apa Aja”? Ya, Lutfi tak membatasi jasa layanan pada antar anak sekolah atau belanja makanan atau kebutuhan rumah tangga di pasar. Zendo juga menerima permintaan untuk _cleaning service_, cuci mobil, isi bensin (bagi kendaraan yang mogok di jalan), tambal ban, membangunkan anak klien yang kos di desa, atau jika tinggal di luar negeri harus ditelpon non-stop sampai bangun (dan itu bisa sampai satu jam prosesnya), bahkan sampai … menjadi mata-mata orang yang diduga berselingkuh! “Untuk kasus yang terakhir ini tak ada dokumentasinya untuk medsos karena dibutuhkan untuk BAP di pengadilan,” ujar Lutfi tergelak.

Dari keuletan Lutfi beroperasi dari tahun ke tahun itulah akhirnya bertemu jodoh dengan Serikat Usaha Muhammadiyah, yang mampu mengembangkan Zendo hingga mendapatkan izin operasional di 70 kota dan kabupaten, meski sampai awal Februari ini yang baru bisa ‘mengaspal’—istilah Lutfi untuk beroperasi, baru di 25 kota dan kabupaten.

Sisi unik lainnya dari Zendo adalah struktur organisasinya. “Meski saya pendiri Zendo, tetapi saya bukan pemiliknya. Pemilik Zendo adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Baru di bawah pemilik ada saya sebagai CEO, dan ada struktur berikutnya,” ungkap Lutfi. Pola seperti itu diharapkan Lutfi bisa terus mengingatkan dirinya agar terus terkoneksi dengan Sang Maha Pencipta, bahwa semua pencapaian yang diraihnya sekarang bukan hasil kerja kerasnya semata, melainkan atas izin Sang Maha Kuasa Pemilik Alam Semesta.

Dari perspektif spiritualitas, Lutfi melihatnya sebagai fase ketiga dalam hidupnya. Fase pertama adalah _mutung_ (ngambek) dan berprasangka buruk kepada Tuhan, fase kedua adalah percaya (lagi) kepada Tuhan, dan fase ketiga menjadi yakin bahwa dirinya hanya sebagai hamba dan tentara Tuhan yang diamanahkan tugas sebagai CEO.

3/
Bak sebuah ungkapan ‘makin tinggi pohon, makin kencang tiupan angin’,  posisi Lutfi dan Zendo pun keras dikritik di berbagai platform media sosial atau media online tersebab syarat bagi calon pengemudi di Zendo adalah harus bekerja dalam sif, selama dua pekan pertama tak boleh libur, dan sistem bagi hasil dengan persentase 20 persen untuk Zendo dan 80 persen untuk driver.

Tiga syarat ini paling banyak dikritisi warganet dengan sebutan “eksploitatif” dan “tak manusiawi.” Tak sedikit  yang menyayangkan mengapa Muhammadiyah sebagai ormas Islam kedua terbesar di dunia, menerapkan sistem kerja seperti ini.

Lutfi menjelaskan bahwa sistem kerja sif diperlukan berdasarkan pengalamannya bahwa klien hanya akan memakai Zendo jika kapan pun mereka butuhkan layanan tersedia. “Jika pada waktu yang mereka inginkan kami tak bisa memberikan layanan, sudah pasti mereka tidak akan pernah menghubungi kami lagi,” ujar Lutfi. Ini berkaitan dengan aturan dimana driver baru tidak boleh libur selama dua pekan pertama bekerja.

Adapun untuk sistem bagi hasil dengan persentase yang dinilai tidak manusiawi bagi driver, Sekretaris Jenderal Serikat Muhammadiyah, Ghufron Mustaqim, menjelaskan aturan ini dirancang berdasarkan pengalaman lapangan selama sembilan tahun dalam menghadapi berbagai tantangan. “Adapun tentang syarat dan ketentuan bagi tim dan driver Zendo yang tersebar di publik, itu adalah bagian dari hasil perahan pengalaman kami merespons kondisi riil lapangan, seperti kasus penipuan, motivasi kerja, dan standar pelayanan,” tulis Ghufron melalui akun X miliknya (15/1/25).

Secara umum, Lutfi menyebut perjalanannya membesarkan Zendo seperti memelihara pohon duren. “Prosesnya lama, tak bisa sekejap. Tapi begitu mulai ada putik buah duren, aromanya menyenangkan bagi yang suka duren. Sedangkan bagi yang tidak suka duren, seenak apapun rasa duren, tetap saja mereka tidak akan mau,” katanya bermajas. “Ya, tidak apa-apa karena tidak semua orang juga harus suka duren”.

Barangkali filosofi duren ini ada benarnya. Sebab meski kritik belum sepenuhnya reda, tetapi jumlah pengemudi Zendo di pelbagai daerah terus bertambah, seperti ditampilkan beberapa orang di antara mereka pada siniar _Pecah Telur_.

Tapi, berapa sih kekayaan mantan guru honorer ini sekarang setelah dibantu Muhammadiyah? Lutfi tertawa lebar. “Saya masih belum bisa beli tanah, bahkan belum punya rumah sendiri,” katanya. “Kebahagiaan saya adalah karena bisa menjalankankan UMKM kerakyatan yang membantu banyak orang.” Nah!

Bagi Lufti, ini juga salah satu caranya menerapkan pesan masyhur KH Ahmad Dahlan ‘hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari kehidupan di Muhammadiyah’. Lutfi menarik napas sejenak. “Dulu saya mencari nafkah di Muhammadiyah, sekarang alhamdulillah sudah bisa sebaliknya.” (*)

12 Februari 2025

*) Sosiolog dan penulis novel sejarah _Sang Pencerah_ (Mizan, 2010), tentang kisah KH Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.