HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Fondasi (yang) Rapuh Itu Bernama Jujur

October 25, 2025 19:27
IMG_20251025_192333

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Jujur. Betapa indah terdengar. Ringan di lidah, namun berat di hati.

Jujur adalah bunga yang mekar dalam taman batin yang tenang. Harum meneduhkan, warnanya menguatkan.

Tapi di dunia paradoks ini, jujur justru kerap dikunci, sementara bohong dibiarkan berkeliaran di halaman depan, menyamar sebagai kebaikan, bahkan kadang mengaku sebagai cinta.

Kejujuran adalah fondasi yang rapuh di negeri yang penuh kata-kata manis.

Kita diajarkan menghitung, membaca, menulis, bahkan menghafal unsur – unsur kimia, tapi saya belum pernah mendengar ada mata pelajaran jujur dan kejujuran.

Bisa jadi diselipkan pada mata pelajaran agama, tapi ia tetap tak disebut kejujuran sebagai mata pelajaran.

Semoga tak ada yang bilang, “jujur tak penting, yang penting beragama”. Semoga tak ada yang memplesetkannya demikian.

Sejak Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi, tak pernah kita mendengar dosen berkata, “Hari ini kita belajar tentang jujur dan kejujuran.”

Padahal jujur dan kejujuran sangat penting. Ia pondasi kehidupan. Semua nilai yang tinggi dan prestasi gemilang, bisa runtuh karena ketidakjujuran.

Lawan jujur adalah bohong. Bohong bukan sekadar kata yang keliru, ia adalah jaring laba-laba yang terus mengembang.

Sekali berbohong untuk membahagiakan, maka kebohongan itu harus dirawat agar kebahagiaan pura-pura tetap bertahan.

Tapi sampai kapan? Sampai jaring kebohongan itu tak lagi mampu menahan beban, dan segalanya runtuh bersama rasa percaya yang hancur.

Bohong menyiksa si pelaku, tapi lebih menyiksa yang terkena.

Seperti menanam duri di taman orang lain, lalu berjalan di atasnya dengan kaki sendiri.

Orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk jujur. Tapi kapan? Di sela rapat daring? Di tengah lalu lintas macet? Atau mungkin kejujuran hanya tinggal slogan di dinding ruang keluarga, sementara anak-anak melihat sendiri orang tuanya berdusta demi kenyamanan sosial?

Masyarakat seharusnya menjadi “sekolah”, ia bisa memberikan kontrol sosial, tapi kurikulumnya tidak jelas.

Di tengah berita korupsi, manipulasi data, janji-janji yang tak ditepati, bagaimana mungkin anak-anak bisa belajar arti jujur dari masyarakatnya?

Jangan-jangan mereka justru belajar bahwa “berbohong itu biasa”, bahwa “asal pintar bersandiwara, semua akan baik-baik saja”.

Ini bukan lagi dunia nyata, ini panggung sandiwara kolosal, di mana kejujuran menjadi peran figuran yang sering dipotong dalam penyuntingan akhir.

Dan ironinya, banyak yang mengajarkan jujur demi membanggakan nama baik keluarga, bukan karena jujur penting bagi kehidupan.

“Jangan malu-maluin orang tua, ya, harus jujur!” Anak-anak diajarkan jujur untuk harga diri orang tuanya.

Padahal jujur bukan hanya untuk orang tuanya, bukan pula untuk orang lain semata, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk kehidupannya. Sebab jujur adalah hidup yang tak dibayangi ketakutan. Merdeka. Hidup apa adanya. Hidup yang tak perlu menyusun skenario kebohongan terus menerus setiap kali bertemu hari baru.

Saya percaya hukum karma. Bahwa kebohongan adalah utang yang harus dibayar dengan kerugian batin, dan kejujuran adalah tabungan yang mencair menjadi kebahagiaan sejati.

Kejujuran memang tak diajarkan di kelas, tapi ia bisa hadir di hati yang terbuka. Bukan sebagai teori, tapi sebagai laku hidup.

Di dunia paradoks ini, semoga masih ada yang mau menjadi jujur, bukan karena takut hukuman, takut dosa, bukan pula karena ingin dipuji, tapi karena ia tahu: jujur adalah satu-satunya jalan agar hidup tidak menjadi dusta yang panjang. (*)

Denpasar, 20 Juli 2025