Penulis : Ririe Aiko
#30Harimenulispuisiesai
Puisi Esai 11
HATIPENA.COM – Seorang Gadis kecil terpaksa berjuang mencari nafkah dengan berjualan es karena ayahnya pergi tanpa kabar, sementara ibunya sudah meninggal dunia. Satu-satunya kerabat yang dimilikinya adalah Neneknya yang sedang terbaring sakit – (1)
—000—
Di sepanjang jalan desa yang berdebu,
seorang gadis kecil melangkah gontai,
menjinjing termos berisi es lilin,
menawarkan manis pada nasib yang pahit.
Langkahnya ringan, tapi bebannya berat,
di pundaknya tergantung hidup seorang nenek,
yang terbaring lemah di tikar tua,
menanti cucunya pulang membawa harapan.
Seharusnya, ia bermain di sawah,
mengejar kupu-kupu bersama teman-temannya,
tertawa riang di bawah langit jingga.
Tapi nasib berkata lain,
bukan boneka atau congklak di tangannya,
melainkan kerasnya hidup yang ia genggam erat.
Bocah itu bernama Kirana,
Arti namanya cahaya, tapi dunianya temaram.
Ibunya telah lama berpulang,
dan ayahnya membuang tanpa belas kasihan.
seolah Ia bukan darah dagingnya.
Di rumah petak yang hampir roboh,
neneknya terbaring lemah,
setiap malam batuknya menggema,
seakan kematian mengintai di sudut ruangan.
Tak ada tangan lain yang membantu,
tak ada bahu tempat bersandar,
hanya Kirana dan keteguhannya.
—000—
Setiap hari Kirana mengetuk pintu demi pintu,
Berharap pembeli memberikan sedikit empati,
Mengikhlaskan sedikit rupiah,
untuk es lilin dagangannya.
Tapi ternyata perjuangan hidup tak semudah itu,
es lilinnya selalu mencair lebih dulu,
sebelum ada tangan yang sudi membeli.
Satu demi satu anak-anak sebaya berlari,
bermain di lapangan hijau,
berkejaran dalam tawa yang lepas.
Kirana hanya bisa menatap,
menahan rindu yang tak bisa ia genggam.
Ia seharusnya ada di sana,
tertawa, bercanda, jatuh lalu bangkit lagi.
Tapi Tuhan menuliskan kisah berbeda,
ia harus berdiri di jalanan,
menghadapi dunia sendirian.
Sejenak Kirana diam,
meremas jemarinya yang mulai dingin.
Hatinya seperti es lilin yang ia bawa,
mencair perlahan bersama airmata yang tertahan
—-000—-
Langit semakin gelap,
Kirana pulang dalam langkah lunglai.
Tangannya masih kosong,
tapi hatinya penuh luka.
Di rumah, neneknya terbatuk makin lemah.
Kirana mengusap dahi wanita renta itu,
menahan air mata di ujung pelupuk.
Ia takut ditinggalkan lagi.
Karena hanya Nenek temannya di dunia.
“Maaf, Nek… Kirana tak bawa uang hari ini,”
bisiknya dalam suara bergetar.
Nenek tersenyum lemah,
tangannya mengelus rambut cucunya.
“Kirana sudah berjuang, Nak… Nenek bangga.”
Tapi apakah dunia peduli pada perjuangannya?
Esok, ia akan kembali ke jalanan,
menawarkan es yang mungkin kembali mencair
sebelum ada tangan yang sudi membeli.
Malam turun, menggulung sepi,
hanya bintang yang menyaksikan derita.
Di sepanjang jalan desa,
angin membawa kisah Kirana,
gadis kecil penjual es,
Yang dipaksa kuat dengan bercucur airmata.(*)
—000—
Catatan
https://www.instagram.com/reel/DG2fSYVyJ5b/?igsh=MWJ5ZTdydG9ucWJ2aw==