HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Galeri Lukisan di Padel District: Dari Soeharto ke Messi

August 24, 2025 18:20
IMG-20250824-WA0141

Elza Peldi Taher

HATIPENA.COM – Padel District Ciputat, yang baru saja dibuka untuk umum, memang unik. Dari luar ia tampak seperti pusat olahraga modern, dengan empat lapangan padel berdinding kaca dan enam belas meja biliar berderet rapi. Suara bola yang memantul, tawa para pemain, dan deru tubuh yang bergerak cepat memberi kesan khas sebuah arena kompetisi. Namun begitu melangkah ke dalam, ada sesuatu yang berbeda. Dinding-dindingnya tak hanya menampilkan pantulan cahaya lampu, melainkan juga dipenuhi karya visual. Warna-warna berani, bentuk abstrak, dan potret imajinatif seakan menghadirkan sebuah galeri seni di tengah riuh olahraga.

Lukisan itu bukan karya pelukis konvensional, melainkan hasil eksperimen Denny JA bersama Artificial Intelligence. Ia menyalakan mesin, memberi ide dan kata-kata, lalu membiarkan algoritma menjelma menjadi gambar visual. Hasilnya kadang memukau, mengejutkan. Ada wajah manusia yang tampak meleleh, ada pohon bercahaya, ada langit yang retak menjadi serpihan warna. Pertanyaan pun menyeruak: siapakah seniman sesungguhnya? Apakah Denny JA yang menyalakan imajinasi? Ataukah AI yang memberi bentuk visual? Atau justru keduanya, dalam sebuah kolaborasi yang menandai lahirnya era baru seni?

Kontras itu kian terasa. Di satu sisi tubuh berlari, berteriak, dan berkeringat di lapangan padel. Di sisi lain, mata pengunjung terpaku pada dinding, tenggelam dalam renungan. Olahraga mengolah otot, seni mengolah rasa. Dua dunia yang biasanya terpisah, kini dipertemukan dalam satu ruang.

Di antara deretan lukisan itu, mata pengunjung segera mengenali wajah-wajah yang akrab di panggung sejarah. Mantan presiden Indonesia terpajang di sana, dari Soeharto yang tegas sekaligus kontroversial, hingga presiden-presiden era reformasi, SBY, Jokowi. Galeri itu ada daftar dengan sosok terkini: Prabowo Subianto, yang menjadi Presiden Republik Indonesia. Kehadiran Prabowo dalam barisan itu membuat galeri ini terasa hidup, seolah mengikuti napas zaman.

Di samping para presiden Indonesia, hadir pula wajah para pemimpin Amerika dan Timur Tengah. Tokoh-tokoh yang selama ini mengisi lembar sejarah dunia, entah sebagai pencipta perdamaian atau pengobar peperangan. Galeri ini seperti ingin mengatakan bahwa dinding olahraga pun bisa menjadi ruang sejarah, tempat wajah-wajah kekuasaan menatap kita kembali.

Tak hanya politik. Dunia olahraga ikut masuk, meski dalam jumlah yang lebih sedikit. Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, dua ikon sepakbola dunia, hadir dalam kanvas AI seakan lebih besar dari sekadar pemain bola. Mereka digambarkan sebagai figur global yang melampaui stadion, sama pentingnya dengan politikus dan seniman. Yang sangat disayangkan tak banyak tokoh olahraga, yang banyak hanya seniman dan tokoh politik. Seharusnya tokoh olahraga yang banyak ditampilkan karena ini adalah sarana olahraga

Seorang pemuda yang baru saja selesai bermain biliar mendadak berhenti di depan lukisan Messi. Matanya berbinar, mulutnya tersenyum lebar. “Wah, Messi! Idolaku ada di sini juga,” serunya pada teman-temannya. Ia bahkan mengeluarkan ponsel, berpose dengan latar belakang lukisan itu, seolah baru saja bertemu langsung dengan sang legenda. Baginya, keberadaan Messi di dinding padel sama berharganya dengan skor kemenangan di lapangan. “Kalau ada Messi, rasanya main padel jadi lebih semangat,” katanya sambil tertawa.

Tak jauh dari situ, seorang bapak paruh baya berdiri lama di depan lukisan seorang penyanyi fenomenal, Michael Jackson. Wajahnya serius, matanya menatap dalam-dalam pada sang proklamator yang digambarkan dengan gaya visual futuristik. “Inilah penyanyi hebat sepanjang masa,” ucapnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia tak menggenggam ponsel untuk berfoto, tak bersorak seperti pemuda tadi. Ia hanya berdiri dalam diam, menautkan ingatannya kepada penyanyi yang kontrioversial itu.

Adegan kecil itu memperlihatkan betapa galeri ini membuka ruang pengalaman yang berbeda bagi tiap orang. Bagi si pemuda, kehadiran Messi lebih membekas ketimbang wajah presiden atau pemimpin dunia. Bagi si bapak, penyanyi pujannnya tetaplah sosok yang tak tergantikan, meski telah meninggal sejak lama. Di ruangan yang sama, dua generasi menemukan “ruang hatinya” masing-masing.

Di situlah letak kekayaan makna galeri ini: ia mampu merangkul emosi yang beragam, dari kekaguman pada tokoh sejarah hingga cinta pada ikon olahraga modern. Padel District Ciputat akhirnya tak hanya menjadi arena fisik, tetapi juga panggung ingatan kolektif, tempat sejarah, mimpi, dan idola bercampur dalam satu ruangan.

Lebih jauh, fenomena ini bisa dibaca sebagai metafora zaman. Kita hidup di era ketika sekat-sekat lama runtuh. Olahraga tak lagi sekadar urusan fisik. Seni tak lagi sekadar goresan kuas. Teknologi tak lagi benda dingin yang berdiri sendiri. Semuanya saling berbaur, menciptakan pengalaman yang tak terduga. Di Ciputat, olahraga adalah perayaan tubuh, seni adalah perayaan imajinasi, dan teknologi adalah perayaan masa depan.

Yang menarik, keberadaan galeri ini sekaligus memecahkan citra lama seni yang elitis. Biasanya, galeri seni hadir di gedung putih ber-AC, jauh dari keseharian masyarakat. Di Padel District, seni hadir di ruang publik, ditemani suara bola dan teriakan pemain. Orang yang tadinya tak pernah menginjak galeri, kini bisa menikmatinya sambil menunggu giliran main. Seni menjadi lebih demokratis, hadir di tengah kehidupan sehari-hari.

Jika menoleh ke luar negeri, fenomena ini punya gaung serupa. Di Spanyol, ada klub padel yang memajang fotografi. Di Jepang, pusat kebugaran mulai menambahkan instalasi seni digital di ruang latihannya. Namun yang terjadi di Ciputat punya kekhasan sendiri. Lukisan-lukisan AI Denny JA bukan sekadar dekorasi, melainkan percakapan kebudayaan. Ia menantang orang untuk berpikir: tentang seni di era mesin, tentang batas antara manusia dan algoritma, tentang masa depan ruang sosial kita.

Bagi sebagian orang, pengalaman ini mungkin terasa aneh. Mereka datang untuk olahraga, pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Arena padel yang semula hanya ruang kompetisi kini menjadi ruang ide. Tubuh yang bergerak, mata yang menatap, dan pikiran yang bertanya—semuanya hadir bersamaan.

Di Padel District Ciputat, tubuh, seni, dan teknologi bertemu dalam satu ruang. Seolah ingin mengingatkan kita: manusia modern tak cukup hanya menggerakkan ototnya, ia juga harus menggerakkan imajinasi dan pikirannya. Olahraga, kini, adalah juga perayaan kebudayaan. (*)

Ciputat 24 Agustus 2025