Suheri Simoen
MUSAFIR itu anak ayam yang kehilangan induknya, sebab antan patah lesung hilang
Lalu mengelana ia sampai jua di negeri yang laksana air jernih ikannya pun jinak
Para petani memberinya gandum, zaitun bahkan tanah garapan di kaki bukit sebab mereka benih yang baik tak memilih tanah yang dengan itu musafir laksana orang mengantuk yang disodori bantal
Lantas, dikenakannya mantel berbulu domba, umpama ayam lepas bertaji sementara petani seperti menimang-nimang anak buaya
Waktu merambat peladang makan hati berulam jantung tak beda telur di ujung tanduk
Karena musafir menyimpan api dalam sekam di dadanya, dan ada udang di balik batu di kepalanya, tak lama ia jadi tuan tanah yang ditumpanginya
Musafir lantas seperti anjing berebut tulang, lalu menjadi pagar makan tanaman, Bagai kacang lupa pada kulitnya
Mereka lempar batu sembunyi tangan, menggunting dalam lipatan
Kemudian dirampasnya ladang za’atar, semai anggur, rosemary, dan semua tanaman pemilik huma
Bahkan pucuk trubus kurma, kecambah tin dan zaitun di bawah lars sepatu, rumput keringpun dibakar tak bersisa
Ia laksana anjing ditepuk, menjungkit ekornya, hidup seperti musang, tak ada buaya menolak bangkai
Lihatlah gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak
Dan tangisan petani tak ke luar lagi air mata, hujan batu di tanah sendiri karena berputih tulang lebih baik dari berputih mata.
Sukadana, 15-01-2025