Oleh : Nurul Jannah
Balikpapan yang Menyapa
HATIPENA.COM – Begitu roda pesawat berhenti dan kaki menjejak lantai Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan, seolah ada getar halus menjalar di dada. Ruang terminal itu bukan semata lorong transit, melainkan panggung awal yang memperkenalkan jiwa Kalimantan Timur.
Di sepanjang dinding berdiri kokoh kalimat: “Destination of Paradise: East Borneo.” Tulisan besar itu bagai teriakan lembut yang mengguncang, menyambut setiap jiwa: selamat datang di tanah yang masih menyimpan serpihan surga.
Foto-foto wisata berjajar indah: Maratua dengan laut biru pekat, Derawan dengan pasir putih murni, hutan rimba hijau menawan, hingga jembatan gantung di Kutai Kartanegara yang menghubungkan langit dan bumi.
Setiap gambar seakan berbisik ramah.
“Inilah rumah bagi laut, hutan, dan budaya. Kau datang bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai saudara yang lama ditunggu.”
Aku menoleh pada rekan-rekan tim IPB yang ikut serta dalam audit lingkungan. Mata mereka berbinar, senyum tak terbendung. “Masya Allah, sambutannya begitu hangat… seakan bumi ini sendiri yang menyapa,” ucap Bima, salah seorang dari mereka. Kami semua merasakan pelukan ramah itu.
Pelukan Kota Minyak
Belum sempat takjub itu mereda, dinding berikutnya menyuguhkan kalimat yang menenangkan hati:“Welcome to Balikpapan.” Huruf-huruf biru dan hijau tegak gagah di antara lukisan batang pohon ramping. Balikpapan, kota minyak yang dikenal keras, justru menyapa dengan kelembutan yang tak terduga.
Aku berucap lirih pada rekan di sebelahku, Jaka “Kalau tulisan ini bisa bernyanyi, suaranya pasti seperti ibu yang menanti anaknya pulang: hangat, tulus, penuh doa.”
Ia tersenyum, lalu menjawab, “Dan kita semua kini merasa menjadi bagian dari keluarga besar yang diterima tanpa syarat.”
Kami sadar, Balikpapan tidak menyambut dengan basa-basi, melainkan dengan pelukan yang tulus.
Jerit Sunyi dari Hutan
Beberapa langkah kemudian, hati kami kembali diguncang. Sebuah mural putih menampilkan pohon-pohon ramping, dengan huruf biru-hijau yang menyala: “Save Me.” Di sampingnya, seekor orangutan seakan keluar dari tembok, tatapannya tajam, penuh harap, dan nyaris membuat dada sesak.
Kami terdiam. Raka, anggota termuda berbisik dengan suara bergetar, “Tatapan itu… seperti suara yang tak terdengar, jeritan dari hutan yang kehilangan rumahnya.”
Aku hanya bisa menarik napas panjang, menahan rasa yang mengalir deras.
Pesan itu bukan belaka ornamen. Ia adalah jeritan nurani. Orangutan: saudara tua kita di hutan: menggenggam cabang pohon, seolah menggenggam sisa-sisa harapan. Selamatkan aku. Selamatkan rumah kita bersama.
Di titik ini aku sadar, audit lingkungan yang kami lakukan bukan semata urusan dokumen dan data. Ia adalah janji moral untuk menjaga rumah kehidupan.
Nada dari Jiwa Dayak
Tak jauh dari sana, suara merdu petikan sape’: alat musik tradisional Dayak: mengalun lembut, memenuhi udara dengan getaran purba nan indah. Seorang lelaki dengan pakaian adat memetik dawai, sementara seorang perempuan bernyanyi dengan nada syahdu, mendayu. Lagu itu bukan hiburan belaka, melainkan doa yang melayang dari tanah leluhur.
Rina, salah seorang anggota tim bergumam, “Rasanya seperti pulang ke rumah yang lama ditinggalkan.”
Kami semua hanyut dalam irama, tak ada yang berbicara, hanya hati yang bergetar. Musik itu seakan menegaskan: budaya adalah nafas panjang yang menjaga tanah tetap bernyawa.
Gerbang yang Bernyawa
Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan bukan semata tempat singgah. Ia adalah etalase jiwa Kalimantan Timur: ramah, hangat, penuh makna. Setiap sudutnya mengajarkan sesuatu.
East Borneo adalah surga yang masih bertahan. Balikpapan adalah rumah yang terbuka untuk semua. Orangutan adalah jeritan nurani yang wajib dijawab. Dan, Budaya Dayak adalah akar yang menjaga kehidupan.
Aku menoleh pada tim auditku dan menyampaikan pesan khusus, “Mari jadikan tugas ini bukan hanya laporan di atas kertas. Biarlah setiap langkah kita menjadi janji untuk bumi yang menyapa kita dengan begitu ramah.”
Refleksi Diri
Ketika akhirnya aku meninggalkan lorong bandara itu, aku sadar: Balikpapan baru saja mengajari kami sesuatu yang tak akan terlupa. Bahwa bumi berbicara lewat gambar, hewan berbicara lewat tatapan, dan budaya berbicara lewat nada. Dan kita, manusia, hanya diberi satu pilihan: mendengarkan atau mengkhianati.
Balikpapan tidak hanya menyambut, ia memeluk. East Borneo tidak hanya indah, ia menggetarkan. Setiap ornamen bandara Sepinggan tidak hanya hiasan, melainkan suara bumi yang menuntut janji kita: untuk merawat dan mencintainya sepenuh Jiwa. (*)
Bumi Allah, 24 September 2025