Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Gerimis Gayo di Atas Istanbul

February 20, 2025 17:40
IMG-20250220-WA0148

Ilustrasi : AI/ L K Ara
Penulis : L K Ara

1

Langit Istanbul kelabu saat Nasir tiba.
Di bawah menara Galata yang angkuh,
gerimis jatuh perlahan,
seperti embun yang menahan waktu.
Ia berdiri di tepi Bosporus,
memandang kapal yang hilir mudik,
seperti pikirannya yang hanyut
dari Gayo ke kota ini.

Di jalanan batu yang berlapis sejarah,
ia teringat gerimis di kampungnya—
membasahi kebun kopi, menyentuh bukit rindu.
Di sini, gerimis juga turun,
seperti puisi yang mencari makna.

2

“Kenapa Istanbul?” tanya seorang sahabat.
Nasir tersenyum, matanya menerawang.
“Istanbul seperti Aceh dalam ingatan,
pernah jaya, pernah luka,
pernah berdiri tegak,
pernah diterpa sejarah yang muram.”

Ia melihat kota ini merangkul masa lalu,
gereja menjadi masjid,
masjid menjadi museum,
dan manusia tetap mencari Tuhan
di antara kubah dan menara.

Di Hagia Sophia,
fresco kuno berdampingan dengan kaligrafi suci.
Seperti dirinya,
yang membawa akar Gayo
dalam setiap langkah di negeri asing.

3

Di benteng Theodosius, ia berhenti.
Teringatlah ia pada seorang pemuda:
Mehmed, berusia 21 tahun,
bermimpi lebih besar
dari lautan yang memisahkan benua.

Gerimis jatuh lebih deras,
seolah mengisahkan hari itu:
ketika 250.000 tentara mengepung kota,
meriam Urban mengguncang dunia,
kapal-kapal ditarik di atas bukit,
dan doa-doa memenuhi malam-malam mereka.

Konstantinopel jatuh,
bukan hanya karena senjata,
tetapi karena keyakinan.
Nasir tersenyum dalam hati—
bukankah itu yang dilakukan para pengembara?
Menaklukkan keterasingan,
bukan dengan pedang,
tetapi dengan keteguhan.

4

Di benteng tua peninggalan Al-Fatih,
jemarinya menyentuh batu kasar,
seolah meraba sejarah.
Namun dalam batinnya,
yang muncul bukan hanya Istanbul,
melainkan bayangan Genali—
leluhur Gayo yang meniti jalan panjang,
menyeberangi samudra dan hutan,
mencari rumah bagi keturunannya.

Apakah Genali juga seorang penakluk?
Bukan dengan meriam,
tetapi dengan langkah yang tak gentar,
menelusuri tanah asing
demi menemukan tanah air.

Tembok Al-Fatih dan bayang Genali
bertaut dalam pikirannya,
dua kisah berbeda,
tetapi sama-sama bertutur
tentang keberanian dan keyakinan.

5

Di depan Masjid Biru, gerimis turun lagi,
melembutkan batu-batu yang dingin.
Ia ingin menjadi gerimis,
turun perlahan,
seperti sajak yang sekadar singgah.

Ia teringat malam-malamnya di Jakarta,
saat pertama kali menulis puisi,
di kelas yang sunyi,
di kota yang bukan miliknya.
Jakarta pernah menjadi persinggahan,
sebelum Balai Pustaka membukakan jalan.
Dan kini, Istanbul adalah halaman lain
dalam buku perjalanannya.

6

Di café kecil dekat Taksim,
Nasir menyesap teh hangat.
Ia mengenang puisi-puisi Rumi,
cinta yang berputar seperti darwis,
langit yang menangis dalam metafora.

Ia pun menulis:

“Jika aku seperti gerimis,
aku akan menjadi napas pagi,
menyapu debu di jalanan tua,
menghidupkan setiap langkah kaki,
yang mencari jejak masa lalu
di lorong-lorong Istanbul.”

Sahabatnya bertanya, “Lalu, setelah ini?”
Nasir tersenyum.
“Setelah ini, aku akan tetap menulis.
Karena seperti gerimis,
aku ingin hadir tanpa memaksa,
tetapi meninggalkan jejak di hati.”

7

Gerimis turun di tanah Gayo,
melembutkan jalan setapak menuju rumah.
Di beranda, Nasir berdiri,
menatap bukit yang diselimuti kabut,
mendengar rintik hujan menari di atap seng,
seperti suara air yang jatuh di batu-batu Istanbul.

Ia memandang rumah tua di depannya,
dinding kayu yang mulai lapuk,
tetapi tetap berdiri dengan segala cerita.

Bukankah ini benteng juga?
Bukan benteng dari batu,
tetapi benteng dari kenangan,
dari doa-doa yang dipanjatkan setiap subuh,
dari langkah para leluhur
yang menjejak tanah ini dengan harapan.

8

Di ujung kebun kopi,
ia melihat jejak langkah sendiri,
jejak yang dulu pergi mencari makna,
dan kini kembali dengan pemahaman baru.

Genali pernah menyeberangi samudra,
Al-Fatih pernah menarik kapal di atas bukit,
dan Nasir pun kini mengerti:
perjalanan sejati bukan hanya tentang pergi,
tetapi tentang kembali
dengan mata yang lebih luas,
dan hati yang lebih lapang.

Gerimis terus turun,
menyapu dedaunan,
membasuh segala rindu yang tertinggal di Istanbul.
Ia menghela napas, tersenyum,
menyadari bahwa ia bukan lagi sekadar pengembara,
tetapi juga penjaga cerita,
yang akan menulis tentang rumah
dengan cara yang berbeda.

9

Di dalam rumah, ia duduk, membuka buku catatan,
tangannya mulai menari di atas kertas.
Di luar, gerimis masih turun,
perlahan, seperti sajak yang sekadar singgah.

Ia menulis:

“Aku pulang bukan hanya dengan langkah,
tetapi dengan sejarah yang kini lebih dekat.
Gayo dan Istanbul,
dua negeri yang bertaut dalam hatiku.”

Istanbul – Gayo, 2019

Catatan

Pasukan Muhammad II berhasil menaklukkan Konstantinopel. Dan sejak itu dia mendapat gelar Sultan Muhammad Al-Fatih alias sang penakluk. Selama berkuasa yakni tahun 1451 Masehi hingga 1484, Sultan Muhammad Al-Fatih telah membangun lebih dari 300 Masjid, 57 Sekolah dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah di Utsmani.