Oleh: Wijaya Kusumah/Omjay
HATIPENA.COM – Di balik tembok kelas yang kadang kusam, di balik papan tulis yang terkadang penuh coretan kapur atau spidol, berdirilah sosok sederhana yang kerap kali dilupakan: guru. Mereka berdiri bukan sekadar untuk menyampaikan materi, tetapi menanamkan harapan, membangun karakter, dan membuka jendela masa depan bagi anak-anak bangsa.
Namun, di tengah segala pengabdian itu, masih saja ada pihak yang hanya tahu mengambil keuntungan. Ada yang memanfaatkan guru untuk kepentingan politik, ada yang sekadar menjadikan guru bahan kampanye, ada pula yang hanya menuntut tanpa pernah peduli pada kesejahteraan mereka.
Fenomena ini begitu nyata. Guru berdiri dengan penuh dedikasi, tetapi penghargaan yang mereka terima tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan.
Pengabdian Guru di Ruang Kelas
Seorang guru memulai harinya lebih awal daripada sebagian besar muridnya. Mereka menyiapkan rencana pembelajaran, memeriksa tugas, dan memastikan semua berjalan sesuai aturan. Bahkan, tidak jarang mereka harus mengorbankan waktu bersama keluarga demi menuntaskan pekerjaan administratif yang semakin menumpuk.
Di depan kelas, seorang guru bukan hanya mengajarkan matematika, bahasa, atau sains. Lebih dari itu, mereka menanamkan nilai kejujuran, kesabaran, kerja keras, serta cinta tanah air. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah doa agar murid-muridnya kelak menjadi pribadi yang sukses dan berman
Namun, ketika bel pulang berbunyi, perjalanan pengabdian guru tidak ikut berhenti. Mereka masih harus menilai tugas, menyiapkan materi, bahkan mengurus rapor dan laporan ke kepala sekolah. Semua dilakukan dengan satu tujuan: memastikan murid mendapatkan pendidikan terbaik.
Ketika Pengorbanan Guru Tak Dihargai
Ironisnya, pengabdian itu sering kali tidak dihargai sebagaimana mestinya. Banyak guru honorer yang gajinya jauh di bawah upah minimum. Mereka tetap bertahan, bukan karena pekerjaan itu menguntungkan secara materi, tetapi karena hati mereka terpaut pada profesi mulia ini.
Sementara itu, ada pihak-pihak yang justru menikmati hasil dari jerih payah guru. Ada politisi yang dengan enteng menjadikan guru sebagai jargon kampanye, menjanjikan kesejahteraan tetapi setelah terpilih melupakan janji tersebut. Ada pejabat yang hanya memandang guru sebagai angka statistik, bukan manusia dengan kebutuhan dan harapan.
Dan yang lebih menyakitkan, ada juga sebagian masyarakat yang hanya bisa menuntut. Mereka menuntut guru agar sabar, agar ikhlas, agar berkorban demi pendidikan. Tetapi, ketika guru menuntut haknya, mereka dicap sebagai tidak ikhlas, materialistis, atau sekadar mencari keun
Padahal, bukankah adil jika pengabdian dibalas dengan penghargaan? Bukankah wajar jika kerja keras dibarengi dengan kesejahteraan?
Guru dan Realitas Sosial
Kita sering mendengar ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan ini terdengar indah, tetapi dalam kenyataannya menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, masyarakat memandang guru sebagai sosok yang mulia, penuh pengorbanan, dan rela berkorban. Namun di sisi lain, ungkapan itu sering dijadikan alasan untuk tidak memberikan penghargaan yang layak.
Padahal, guru juga manusia. Mereka punya keluarga yang harus dinafkahi, anak-anak yang butuh pendidikan, dan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Tidak adil bila kita hanya menuntut keikhlasan tanpa pernah memberi penghar
Ketika seorang guru berdiri di depan kelas, mereka membawa harapan bangsa di pundaknya. Mereka membentuk generasi yang kelak akan memimpin negeri ini. Tetapi sayangnya, guru sering kali justru menjadi pihak yang dipinggirkan.
Suara Guru yang Sering Terabaikan
“Guru berdiri di depan kelas penuh pengabdian, kalian ambil keuntungan.” Kalimat ini bukan sekadar kritik, melainkan jeritan hati. Guru seakan menjadi mesin pendidikan yang terus diperas tenaganya, tetapi jarang sekali mendapatkan balasan yang setimpal.
Tidak jarang kita mendengar kisah guru yang tetap mengajar meski sakit, yang tetap hadir meski hujan deras, yang tetap tersenyum meski isi dompetnya tipis. Semua dilakukan demi murid, demi masa depan
Namun, apakah negara benar-benar hadir untuk mereka? Apakah masyarakat benar-benar menghargai mereka? Ataukah guru hanya dijadikan simbol pengabdian yang dieksploitasi, sementara keuntungan materi dan politik dinikmati pihak lain?
Komentar Omjay
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, yang akrab disapa Omjay, seorang guru sekaligus blogger pendidikan Indonesia, pernah berkata:
“Guru itu berdiri di depan kelas bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk menyalakan pelita. Tetapi sangat menyedihkan ketika ada pihak yang justru mengambil keuntungan dari pelita itu tanpa pernah peduli siapa yang menjaganya agar tetap meKata-kata Omjay ini menggambarkan betapa beratnya perjuangan guru. Mereka ibarat lilin yang rela terbakar demi menerangi orang lain. Sayangnya, banyak yang hanya menikmati cahaya tanpa peduli pada lilin yang terus menyusut.
Harapan untuk Masa Depan
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan guru berada dalam posisi yang terpinggirkan. Jika kita benar-benar ingin membangun generasi emas Indonesia, maka langkah pertama adalah memberikan penghargaan yang layak kepada guru.
Penghargaan itu tidak selalu berupa materi, meski kesejahteraan tetap hal utama. Penghargaan juga bisa berupa kebijakan yang memihak, penghormatan dari masyarakat, serta kesempatan untuk berkembang. Guru harus diberi ruang untuk terus belajar, terus berinovasi, dan terus mengabdikan diri
tanpa terbebani oleh tekanan hidup yang menyiBayangkan jika tidak ada guru. Siapa yang akan mengajarkan kita membaca dan menulis? Siapa yang membimbing kita memahami dunia ini? Tanpa guru, tidak akan ada dokter, insinyur, pejabat, bahkan presiden. Semua lahir dari tangan guru.
Penutup
Guru berdiri di depan kelas penuh pengabdian. Mereka menyalakan cahaya harapan, meski sering kali hidupnya berada dalam gelap. Mereka memberikan segalanya, sementara banyak pihak hanya tahu mengambil keuntungan.
Sudah saatnya kita berhenti hanya menuntut dan mulai memberi. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan guru sebagai jargon, dan benar-benar menghadirkan kebijakan yang berpihak pada mereka.
Karena ketika guru sejahtera, ketika guru bahagia, maka murid pun akan belajar dengan hati yang gembira. Dan dari situlah lahir generasi emas yang siap membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih gemilang. (*)
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah – omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com