Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Guru Sandal Jepit

April 25, 2025 09:29
IMG-20250425-WA0027

Rerasan: Muslimin Lamongan

HATIPENA.COM – Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengisahnyatakan gurunya yang luar biasa: Ibu Muslimah. Dalam serba keterbatasan, gedung hampir roboh, gaji tak memadai, tetap semangat dan berdedikasi tinggi. Mengedepankan pendidikan tetapi tetap mewadahi pengajaran. Ibu Muslimah menjadi salah satu potret keberadaan sebagian besar guru di Indonesia. Memprihatinkan dalam bingkai ketangguhan. Dianggap pahlawan tanpa tanda jasa tetapi dilupakan. Ibu Muslimah adalah obor inspirasi bagi para siswanya. Terbukti sebagian besar siswanya memeroleh kesuksesan dan keberhasilan.

Namun, akhir-akhir ini sering terjadi degradasi pandangan sebelah mata tethadap guru. Bahkan dalam beberapa kasus, pendisiplinan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya dijerumuskan pihak yang tak bertanggung jawab ke kriminalisasi. Demi keluarga, banyak guru kerja apa saja setelah mengajar. Guru-guru swasta di lembaga pendidikan ‘miskin’, misalnya, banting tulang kerja serabutan demi menghidupi keluarga.

Mengenang Ibu Muslimah, terkenang pula guru awak yang tak kalah hebatnya: Aba Haji Sulhan Abdullah. Beliau guru agama komplit waktu saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Mengajar Al-Qur’an, hadits, tarikh nurul yaqin, aqidah, akhlaq, fiqih, bahasa arab, dan menulis pegon. Yang disebut terakhir adalah kata atau kalimat berbahasa Jawa tetapi ditulis dengan hurup Arab. Huruf pegon dipakai untuk membaca ‘kitab gondrong’, jenis kitab yang sudah diterjemahkan ke bahasa Jawa. Aba Sulhan juga mengajarkan dasar-dasar ilmu nahwu sharaf, yang dipakai untuk membaca kitab gundul atau kitab kuning yang tidak berharokat. Kitab kuning banyak dipakai di pondok pesatren.

Di samping mengajar di madradah, Aba Sulhan juga menjadi penggerak dan pendakwah majelis taklim ibu-ibu Muslimat NU di Desa Jotosanur (sebelah timur Masjid Namira-Lamongan). Sejak tahun 1980-an hingga sekarang majelis taklim itu masih berjalan. Dilaksanakan setiap habis sholat Jum:at, berpindah dari satu musholla ke musholla lain di Dusun Sanur. Juga pendiri ngaji rutin para bapak setiap malam minggu dari satu rumah anggota Jamiyah NU ke anggota yang lain. Semua dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih, tidak ada target ‘amplop’ yang diharapkan. Lucunya, pada tahun 1980-an, waktu acara akhirussanah madradah, beliau mendapat hadiah dari pengurus, yaitu sandal jepit warna hijau. Untuk menghidupi keluarga, beliau tekun bertani, menggarap sawah yang tidak begitu luas.

Berkat keikhlasan beliau, 4 putranya dan 1 putrinya lulus sarjana semua, juga terjun menekuni dunia pendidikan. Kalau dipikir darimana biayanya, nalar tak berkutik. Tetapi Allah Maha Kaya, tak ada kemustahilan bagiNya. Allah menganugerahi beliau putra-putri yang patuh dan meneladaninya. Tidak berharap sang anak berlimpah harta, tetapi menjadi pendidik dan pejuang, menjadi kebanggan tiada tara bagi beliau. Semoga beliau sehat selalu, nyala api perjuangannya selalu menginspirasi bagi setiap generasi.

Lamongan, 22 April 2025