Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Hamba-Hamba yang Saling Bergantung

March 4, 2025 09:30
IMG-20250304-WA0025

Oleh Mila Muzakkar

Renungan Ramadan #2
HATIPENA.COM
– Keluar masuk rumah sakit ternyata menjadi kegiatan rutin di tahun 2024. Bukan hanya dua atau tiga kali, tapi delapan kali. Jarak waktu sakitnya pun berdekatan. Beberapa kali hanya berjarak seminggu, dua minggu, paling lama dua bulan.

Kejadiannya seringkali mendadak, tak kenal waktu, kadang malam atau di sepertiga malam. Ketika malam tiba, ada semacam rasa yang menghantui. “Bagaimana kalau tiba-tiba dia sakit lagi.” “Kalau aku lagi kerja di luar, dan tiba-tiba dia harus ke IGD lagi, gimana?”, Aku selalu siaga.

Kekhawatiran-kekhawatiran itu mau tak mau membuatku ragu mengambil tawaran pekerjaan, termasuk juga ragu menjadwalkan kegiatan di Komunitas. Jangan sampai aku bilang iya, tapi tiba-tiba harus menemani suami ke IGD lagi. Ini akan merugikan pihak lain, juga bisa mengurangi kepercayaan orang lain padaku. Dan ini benar terjadi, beberapa kali.


Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, saat suamiku tiba-tiba bangun dan ingin ke kamar mandi. Dengan tenang aku sampaikan, “Belum boleh ke kamar mandi, pipisnya di kateter aja.”

Kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Mulai ia memaksa. Ia hampir-hampir nekat melepas Infus dan selang-selang lain yang menempel di tubuhnya. Segera kupanggil suster, tiga orang sekaligus datang. Mereka menyerah. “Kami harus mengurus pasien lain juga, Bu,” katanya.

Aku tak tinggal diam. Inisiatif dan langkah taktis perlu dilakukan. Aku ke lantai satu memanggil satpam. Dengan sedikit memohon, kuajak Pak satpam ke lantai 5 untuk menenangkan suamiku yang setengah mengamuk itu. Tak bisa kubayangkan jika ia nekat melepas semua alat bantu di tubuhnya.

Di depan kamar, pasien dan penunggu pasien sudah berkumpul. Mereka semacam sedang menonton hiburan gratis. “Nggak papa Pak, Bu”, kataku dengan tegas sambil menutup pintu kamar.

“Ibu sendiri aja? Nggak ada yang bisa nemenin jaga?,” salah satu suster tampaknya heran melihat sehari-hari aku sendiri yang stand by menjaga suami. Sementara pasien lain, memiliki beberapa penjaga, bergantian.

“Selama ini, aku bisa sendiri,” batinku.
“Lagian siapa yang bisa menemani atau menggantikanku? Kami ini perantau. Kalau di kampung sendiri, satu RT pun akan datang membantu.”

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dalam ketakutan, aku mencoba memejamkan mata. Sesekali melihat ke langit-langit kamar rumah sakit. Sepi.

Di kepalaku tiba-tiba teringat satu nama, sahabat suamiku, yang t’lah lama putus kontak. Segera kutelpon dia.

“Sejak kapan dia sakit? Kok nggak bilang?” Jawabnya di ujung telpon. Di luar dugaan, ia menjawab dan mengatakan siap datang ke rumah sakit.

Dialah yang dengan tulus membantu menjaga dan merawat suamiku, sahabatnya sejak zaman kuliah dulu. Kehadirannya sangat membantu, terutama menghibur dengan cerita-cerita konyol yang mereka lakukan di masa lalu.


Aku termasuk tipe orang yang jarang sekali bercerita tentang kehidupan pribadi, termasuk soal menemani suami keluar-masuk rumah sakit. Sebab, aku berpikir tak ingin membebani orang lain dengan beban hidupku. Tak kupungkiri, aku pun merasa sangat percaya diri bisa menyelesaikan banyak hal sendiri, “Toxic Independence”!

Tapi, meski berusaha aku tutupi, ada saja jalan yang membuat beberapa teman dekat tahu. Mereka protes, kenapa aku tak berkabar. “Kamu nggak anggap aku keluarga?”, kata salah satu dari mereka dari balik telepon, dengan nada agak marah.

Ada kondisi-kondisi tertentu di mana aku harus bercerita kepada orang-orang tertentu. Sebab, ada hubungan pekerjaan atau kegiatan yang sedang berjalan.

Lagi-lagi di luar dugaan, orang-orang tertentu inilah yang justru hadir, peduli, dan membantuku saat proses keluar-masuk rumah sakit. Bantuan mereka dalam berbagai bentuk. Yang paling berkesan adalah pesan masuk dan telepon yang terus menanyakan perkembangan kabar. Tampak Mereka tulus membantu, layaknya keluarga. Mereka yang terbilang belum lama dekat.


Dari situ, aku diingatkan tiga hal. Pertama, Tuhan memang menciptakan manusia sebagai makhluk sebaik-sebaik ciptaan-Nya. Tapi manusia juga diberi kelemahan, yang membuatnya tak bisa melakukan semua hal di dunia ini sendirian. Sebagaimana matahari yang tak bisa seterusnya menyinari bumi. Ia membutuhkan bulan dan bintang untuk menggantikannya di malam hari.

Stephanie Horrison, seorang happiness expert, melakukan studi bertahun-tahun tentang hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Salah satunya adalah mencari bantuan ketika dibutuhkan, terlebih di tengah masyarakat yang cenderung individualistik.

Tak ada lagi rasa bersalah, atau rasa “tidak independen” hanya karena aku bercerita masalah hidup yang kualami, bahkan meminta bantuan, pada orang yang tepat. Toh, setiap orang pernah, dan butuh melakukan itu.

Kedua, kebanyakan kita menggantungkan harapan besar pada keluarga atau orang-orang terdekat, khususnya ketika menghadapi masalah. Tapi dunia menampakkan hal lain. Seringkali yang hadir saat dibutuhkan adalah mereka yang bukan keluarga atau sahabat, tapi orang yang baru saja kita kenal “kemaren sore”, yang baru saja mulai membangun kedekatan dengan kita.

Karena itu, ada baiknya kita berbaik-baik pada siapa pun di sekitar kita. Karena kita tak pernah tahu siapa di antara mereka yang menjadi penolong di waktu yang dibutuhkan.

Ketiga, mungkin ini cara Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya. Ia memberi ujian pada satu hamba-Nya, lalu menghubungkannya dengan hamba lainnya, agar mereka saling bergantung, saling menolong, dan menyadari bahwa mereka hanya seorang hamba yang tak bisa sendiri. Hanya Tuhan yang tak butuh pertolongan dari siapa pun.(*)

3 Maret, 2025