Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris FKEAI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Hari Bumi bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum reflektif terhadap hubungan manusia dan alam. Di tengah krisis iklim, langkah kecil seperti menanam pohon menjadi bentuk kontribusi nyata.
Pohon matoa (Pometia pinnata) adalah flora endemik Indonesia yang tumbuh subur di Papua, Maluku, dan Sulawesi. Ia bukan hanya eksotis dalam rasa buahnya, tapi juga kaya nilai ekologis.
Dengan tajuk “Tanam Pohon Matoa, Selamatkan Bumi”, gerakan penghijauan tahun ini menyentuh akar dari problem ekosistem: degradasi lingkungan dan hilangnya tutupan hijau.
Pohon matoa tergolong tanaman yang toleran terhadap berbagai kondisi tanah. Ketahanannya menjadikannya cocok sebagai pohon penghijauan di kawasan urban maupun pedesaan.
Selain menghasilkan buah yang bergizi, matoa mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen dalam jumlah signifikan. Ia menjadi penyeimbang alami dalam rantai kehidupan.
Daun-daun matoa juga menyediakan tempat hidup bagi serangga penyerbuk. Ini menjadi bagian penting dalam menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati lokal.
Penanaman pohon matoa sejalan dengan prinsip ekologis berkelanjutan. Kita tidak hanya menanam pohon, tapi juga menanam harapan, menanam masa depan.
Melalui kampanye tanam matoa di Hari Bumi, kesadaran kolektif bisa dibangun, bahwa bumi tidak akan pulih tanpa keterlibatan aktif manusia.
Satu pohon memang tak bisa menyelamatkan dunia, tetapi sejuta matoa yang tumbuh bisa menjadi hutan harapan. Inilah bentuk perlawanan terhadap perubahan iklim.
Matoa juga menyimpan kearifan lokal, di mana masyarakat adat memaknainya sebagai simbol keseimbangan dan kelimpahan. Memelihara matoa, berarti merawat budaya.
Kita sering merayakan kemajuan dengan membangun gedung tinggi dan jalan lebar. Namun, merawat bumi artinya juga memberi ruang hidup bagi pohon dan satwa.
Sekolah-sekolah, kampus, dan kantor bisa menjadi lokasi strategis untuk menanam matoa. Edukasi dan aksi lingkungan dapat berpadu dalam praktik nyata.
Bagi generasi muda, menanam matoa bukan sekadar tugas pelestarian, melainkan investasi ekologis jangka panjang. Pohon hari ini, oksigen esok hari.
Hari Bumi adalah panggilan moral agar kita tidak lagi menjadi penonton kerusakan. Matoa menjadi lambang bahwa kita bisa memilih untuk bertindak.
Pemerintah dan swasta perlu bersinergi dalam gerakan tanam pohon. Insentif, regulasi hijau, dan kampanye publik akan memperkuat dampaknya.
Bumi sedang panas, es kutub mencair, dan bencana menjadi biasa. Tapi secercah hijau di halaman rumah bisa memperlambat laju kehancuran.
Matoa tidak menuntut banyak: cukup sinar, air, dan tanah. Tapi ia memberi banyak: buah, naungan, udara bersih, bahkan estetika.
Di Hari Bumi ini, mari mulai dari yang sederhana. Satu benih matoa di pekarangan bisa menjadi pohon rindang di masa depan.
Seperti pepatah bijak, “Siapa menanam, dia menuai.” Menanam pohon matoa adalah menanam kehidupan yang akan dinikmati oleh anak cucu.
Jika bumi adalah ibu, maka matoa adalah pelukannya yang teduh. Ia merawat, menguatkan, dan menyembuhkan luka-luka yang kita buat.
Esok mungkin terlalu terlambat. Maka tanamlah hari ini, agar bumi kembali tersenyum. Dan biarlah matoa menjadi saksi cinta kita pada kehidupan. (*)