Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Hari Buruh Internasional, yang diperingati setiap 1 Mei, bukan sekadar tanggal merah dalam kalender. Ia adalah simbol perjuangan panjang kelas pekerja dalam menuntut hak, keadilan, dan martabat yang selama ini terpinggirkan.
Sejarah mencatat bahwa peringatan ini lahir dari darah dan air mata buruh di Haymarket, Chicago, tahun 1886. Mereka menuntut jam kerja delapan jam, sebuah tuntutan sederhana yang kemudian menggema ke seluruh dunia.
Di Indonesia, Hari Buruh menjadi ruang kolektif bagi para pekerja menyuarakan aspirasi: upah layak, jaminan sosial, hingga perlindungan kerja yang manusiawi. Namun, apakah semangat ini benar-benar telah berakar dalam sistem sosial kita?
Keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila seharusnya menjadi arah kebijakan negara. Sayangnya, banyak buruh masih hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan eksploitasi.
Ketimpangan sosial menjadi wajah muram dari pembangunan ekonomi. Di satu sisi, laba perusahaan terus meningkat, sementara buruh masih berkutat dengan upah minimum yang tak sebanding dengan kebutuhan hidup.
Keadilan sosial tidak cukup dengan slogan atau pidato seremonial tiap 1 Mei. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang melindungi buruh sebagai elemen vital pembangunan nasional.
Pekerja bukan roda produksi semata. Mereka adalah manusia dengan harga diri, keluarga, dan harapan. Menjamin hak-hak buruh bukanlah beban, tapi investasi moral sebuah bangsa.
Di banyak sektor informal, buruh kerap bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa kepastian hari esok. Ironisnya, merekalah yang menopang sebagian besar aktivitas ekonomi nasional.
Pendidikan dan pelatihan keterampilan masih belum merata untuk pekerja. Padahal, pemberdayaan SDM buruh adalah jalan utama menuju keadilan ekonomi dan peningkatan produktivitas nasional.
Negara harus hadir bukan sekadar sebagai penengah antara pengusaha dan buruh, melainkan sebagai penjamin kesejahteraan semua warga. Tanpa keberpihakan nyata, buruh hanya akan jadi pelengkap statistik.
Momentum Hari Buruh harus dijadikan evaluasi nasional, apakah sistem ekonomi kita telah memberikan ruang yang adil bagi pekerja? Ataukah kita masih memelihara ketimpangan atas nama efisiensi?
Keadilan sosial menuntut distribusi sumber daya yang merata, akses yang setara terhadap layanan publik, dan perlindungan terhadap kelompok yang rentan, termasuk buruh perempuan dan pekerja migran.
Peran serikat buruh harus diperkuat sebagai garda terdepan advokasi pekerja. Namun, negara juga wajib memastikan tidak ada kriminalisasi terhadap suara-suara kritis dari akar rumput.
Buruh bukan anti-pembangunan. Mereka justru pejuang produktivitas yang menginginkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, bukan hanya akumulasi modal yang timpang.
Kita butuh etika ekonomi yang berkeadilan, bukan hanya logika pasar bebas. Keseimbangan antara keuntungan dan kesejahteraan adalah pilar kemanusiaan dalam dunia kerja.
Pendidikan publik juga perlu diarahkan untuk membangun empati sosial terhadap nasib buruh. Kesadaran kolektif ini penting agar isu ketenagakerjaan tidak hanya diperjuangkan oleh buruh itu sendiri.
Inspirasi bisa datang dari negara-negara yang berhasil membangun keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan tenaga kerja, seperti Skandinavia dan beberapa negara Eropa.
Namun, lebih dari sekadar meniru, Indonesia harus membangun sistem yang sesuai dengan konteks sosiokulturalnya. Keadilan sosial bukanlah impian, melainkan tuntutan sejarah yang harus dijawab.
Hari Buruh seharusnya tidak lagi dipandang dengan curiga sebagai momen politis. Justru di sinilah demokrasi diuji, apakah negara mendengar suara yang selama ini terpinggirkan?
Mari jadikan Hari Buruh sebagai momen refleksi dan tekad bersama. Sebab keadilan sosial bukan hanya hak buruh, melainkan fondasi keutuhan bangsa. (*)