Oleh Agung Marsudi
HATIPENA.COM – Dari jendela kamar masa kecilku, sinar matahari terasa menembus dinding, seperti sorot lampu proyektor sebuah film layar lebar.
Dinding yang berusia 55 tahun itu, menawarkan bayangan seperti siluet, ornamen masa lalu, yang penuh rindu.
Di kamus matahari hanya ada kata memberi, tidak ada kata meminta, karena itu perintah keabadian.
Ajakan “kegelapan” akhir-akhir ini, telah mengkhianati matahari, yang tak pernah terlibat urusan politik dan riuhnya duniawi. Manusia tak pernah mengenal sejatinya matahari, sampai mereka mati dan dibangkitkan.
Matahari tetap hidup, karena itu perintah Tuhan. Berarti matahari bukan benda mati.
Dari jendela kamar masa kecilku, sinar matahari membentuk sudut siku-siku. Hari ini, dan masa lalu. Hari ini dan masa depan, berada di garis proyeksi.
Awalnya adalah titik.
Kesibukan tak pernah bisa mengejar matahari. Meski matahari hanya bertawaf di orbitnya, belum ada perintah bergeser dari titikNya.
Dunia selalu menawarkan dua pilihan, habis gelap terbitlah terang. Karenanya, kehidupan dan kematian adalah cahaya keabadian.
Tak ada yang mampu menembus cahaya di atas cahaya, karena manusia hanya hamba-hambaNya. Tapi kenapa Tuhan selalu dikeluarkan dari ruang kelas kemanusiaan?
Jika ketuhanan telah dikesampingkan, tak akan ada peradaban. Dari jendela kamar masa kecilku, ada cerita cerutu masa lalu. Jangan pernah percaya dengan yang palsu.
Kepalsuan, adalah topeng kehidupan. Hari ini, “Buka dulu topengmu!” (*)
Solo, 20 Maret 2025