Oleh ReO Fiksiwan
“Buku telah melestarikan peradaban melalui masa-masa tergelapnya, dan menjadi landasan pengetahuan ketika lembaga-lembaga goyah.” — F. McNeely dan Lisa Wolverton, Reinventing Knowledge: From Alexandria to the Internet (2008;2010).
HATIPENA.COM – Di tengah gelombang digitalisasi yang menyapu hampir seluruh aspek kehidupan manusia, buku mengalami nasib yang ironis: ia menjadi artefak yang semakin asing dalam lanskap pengetahuan modern.
Pergeseran budaya literasi dari manual ke digital bukan sekadar perubahan medium, melainkan transformasi mendalam dalam cara manusia memahami, menyimpan, dan mewariskan pengetahuan.
Dalam konteks ini, Steven Pinker (71), dalam Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress(2018) menyoroti tantangan informasi di era digital, termasuk distorsi persepsi publik akibat media dan algoritma. Salah satu gagasan pentingnya:
“The world has never been richer, safer, and healthier, yet the news makes us think otherwise.” Alihbasa: “Dunia tidak pernah lebih kaya, lebih aman, dan lebih sehat, namun berita tersebut membuat kita berpikir sebaliknya.”
Meskipun tidak secara eksplisit menyebut “AI” dalam konteks krisis pengetahuan, Pinker mengkritik bagaimana teknologi informasi dapat memperkuat bias dan ketakutan, serta mengaburkan kemajuan nyata.
Ia menekankan pentingnya data dan statistik untuk melawan narasi pesimistis yang sering didorong oleh media dan platform digital menyebut fenomena progresfobia—ketakutan terhadap kemajuan—yang justru bersembunyi di balik euforia teknologi.
Ketika mesin (AI) mulai mengambil alih fungsi-fungsi kognitif manusia, dari membaca hingga menulis, dari menganalisis hingga menyimpulkan, kita menyaksikan pergeseran otoritas epistemik dari manusia ke algoritma.
Pengetahuan tak lagi lahir dari kontemplasi dan pengalaman, melainkan dari kalkulasi dan komputasi.
Buku, sebagai pengampu manual seluruh pengetahuan manusia, kini terancam eksistensinya.
Ia bukan hanya wadah informasi, tetapi juga ruang refleksi, tempat di mana manusia bernegosiasi dengan makna dan nilai.
Dalam Haus Buku (1987), Annie François menggambarkan relasi intim antara manusia dan buku sebagai bentuk kelaparan eksistensial terhadap makna.
Buku bukan sekadar benda baca, melainkan sahabat spiritual yang menyelamatkan manusia dari kekosongan.
Sementara dalam “The Man Who Loved Books Too Much” (2009), Allison Hoover Bartlett mengisahkan obsesi seorang pencuri buku langka yang mencintai buku bukan karena nilai jualnya, tetapi karena nilai jiwanya. Kutipnya: Sebuah buku lebih dari sekedar sarana untuk menyampaikan isinya.”
Kisah ini menjadi alegori tentang bagaimana buku menyimpan warisan peradaban yang tak tergantikan oleh format digital yang serba instan.
McNelly dan Wolverton menyebut fenomena ini sebagai reinventing knowledge—proses rekonstruksi ulang pengetahuan yang berisiko mengaburkan akar historis dan filosofisnya.
Ketika pengetahuan direduksi menjadi data, dan data dikemas dalam algoritma, kita kehilangan dimensi humanistik dari proses belajar.
Literasi sains, teknologi, dan spiritualitas yang dahulu bersumber dari buku sebagai medium reflektif, kini tergantikan oleh layar yang menyajikan pengetahuan dalam bentuk potongan-potongan instan.
Budaya baca tergantikan oleh budaya scroll; kontemplasi tergantikan oleh konsumsi cepat.
Krisis budaya baca bukan sekadar soal minat, tetapi soal orientasi peradaban.
Ketika buku tak lagi menjadi sumber utama asupan pengetahuan, kita kehilangan fondasi untuk membangun pemahaman yang mendalam dan berkelanjutan.
Buku mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kedalaman—nilai-nilai yang tak bisa diajarkan oleh mesin.
Dalam dunia yang makin dikuasai oleh AI, kita perlu bertanya: apakah kita masih haus akan buku, atau kita telah kenyang oleh ilusi pengetahuan instan?
Haus buku bukan sekadar nostalgia, tetapi panggilan untuk kembali pada akar peradaban yang menghargai proses, bukan hanya hasil.
Buku adalah saksi bisu dari perjalanan intelektual manusia, dan dalam setiap halamannya tersimpan jejak-jejak pencarian makna yang tak bisa digantikan oleh algoritma.
Di tengah arus digital yang deras, haus buku adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan. Sebuah seruan untuk menjaga warisan pengetahuan agar tetap manusiawi. (*)
#coverlagu: Lagu “Bukumu Teman Baikku” oleh Billy & Ruang 114 featuring Naura Sashi resmi dirilis pada 31 Juli 2022. Lagu ini merupakan bagian dari album mereka yang berjudul Langkah, yang dirilis di bawah label Silkie Record.
Lagu ini merupakan sebuah ajakan untuk mencintai buku dan membaca, terutama ditujukan kepada anak-anak dan generasi muda.